tanpa judul

Vishnu

Senin, 20 April 2015

Ajaran Hindu Dharma Tentang Etika (Susila)



      A. Filsafat Tat Twam Asi

Tat Twam Asi merupakan salah satu ajaran agama Hindu. Dalam bahasa sansekerta kata “tat” berasal dari suku kata “tad” yang berarti “itu” atau “dia”. Kata “twam” berasal dari suku kata “yusmad” yang berarti “kamu” dan “asi” yang berasal dari kata “asa” yang berarti “adalah”. Jadi secara sederhana kata “tat twam asi” bisa di artikan “kamu adalah dia” atau “dia adalah kamu”.

Kata “kamu” merujuk kepada semua makhluk hidup, sedangkan “dia” merujuk kepada sang hyang widhi. Dalam ajaran ini dikatakan bahwa sanghyang widhi dan makhluk hidup adalah sama. Tetapi kata sama disini jangan diartikan sama secara mutlak, bukan berarti kita sebagai makhluk hidup sepenuhnya sama seperti tuhan hanya saja kita memiliki sifat yang sama dengan tuhan dalam jumlah yang kecil. Dalam diri setiap makhluk terdapat atman (yang menghidupkan makhluk hidup). Atman sendiri merupakan percikan terkecil dari Brahman (sang hyang widhi). Hal ini di ibarakan seperti air laut yang dituangkan ke dalam gelas. Air yang ada di dalam gelas dengan air yang ada di laut mempunyai sifat yang sama, tetapi air yang ada di dalam gelas tidak mampu menghancurkan rumah, sedangkan air yang di laut ketika terjadi sunami bisa menghancurkan rumah. Kedua air ini mempunyai sifat yang sama namun mempunyai jumlah dan kekuatan yang berbeda. Sama halnya dengan makhluk hidup yang merupakan percikan terkecil dari sang hyang widhi, mereka mempunyai sifat yang sama yaitu sat, cit dan ananda (kekal, penuh pengetahuan dan penuh kebahagiaan). Namun sifat ini dimiliki makhluk dalam jumlah yang terbatas sedangkan sang hyang widhi memiliki sifat tersebut dalam jumlah yang tak terbatas. oleh karena itu kita dilarang menyakiti siapapun makhluk hidup karena jika kita menyakiti makhluk hidup sama saja kita menyakiti sang hyang widhi, karena dalam diri setiap makhluk terdapat percikan sang hyang widhi.

Tat twam asi juga bisa di artikan “aku adalah engkau, engkau adalah aku”. Filosofi yang terkandung dalam ajaran ini yaitu bagaimana kita dapat berempati terhadap orang lain, bagaimana kita bisa merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Ketika kita menyakiti orang lain sesungguhnya kita menyakiti diri kita sendiri. Oleh karena itu ajaran ini menjadi dasar dalam bertingkah laku.

Tat twam asi merupakan ajaran sosial tanpa batas yang menjadi dasar atau konsepsi untuk mewujudkan atau menciptakan kesejahteraan dalam kehidupan. Tat twam asi juga merupakan kunci dalam membina kehidupan agar terjalinnya hubungan yang serasi terhadap sesame makhluk hidup.

      B. Pengertian Cubhakarma (Perbuatan Baik) dan Jenis-Jenisnya

Cubhakarma berasal dari bahasa sansekerta yang artinya perbuatan baik. Jenis-jenis cubhakarma terbagi menjadi 12 yaitu:

1.      Tri Kaya Parisudha
Tri kaya parisudha artinya tiga gerak perilaku manusia yang harus disucikan yaitu berfikir yang bersih dan suci, berkata yang benar dan berbuat yang jujur. Dari pikiran yang bersih akan muncul perkataan dan perbuatan yang baik.

2.      Catur Paramita
Catur paramita adalah empat bentuk budi luhur yaitu Maitri yang artinya lemah lembut, karuna yang artinya belas kasihan atau kasih sayang, mudita yang artinya sifat dan sikap menyenangkan orang lain, dan upeksa yang artinya sifat dan sikap menghargai orang lain.

3.      Panca Yama Bratha
Panca yama bratha adalah lima macam pengendalian diri dalam hubungannya dengan perbuatan untuk mencapai kesempurnaan rohani dan kesucian batin. Panca yama bratha ini meliputi lima bagian yaitu ahimsa, brahmacari, satya, awyawahara dan asteya.

4.      Panca Nyama Bratha 
Panca Nyama Bratha adalah lima macam pengendalian diri dalam tingkat mental untuk
mencapai kesempurnaan dan kesucian bathin, adapun bagian-bagian dari Panca Nyama
Bratha ini adalah Akrodha, Guru Susrusa, Aharalaghawa dan Apramada.

5.      Sad Paramita 
Sad Paramita adalah enam jalan keutamaan untuk menuju keluhuran. Sad Paramita ini
meliputi: Dana Paramita, Sila Paramita, Ksanti Paramita, Wirya Paramita, Dhyana Paramita
dan Pradnya Paramita.

6.      Catur Aiswarya 
Catur Aiswarya adalah suatu kerohanian yang memberikan kebahagiaan hidup lahir dan batin
terhadap makhluk. Catur Aiswarya terdiri dari Dharma, Jnana, Wairagya dan Aiswawarya.

7.      Asta Siddhi 
Asta Siddhi adalah delapan ajaran kerohanian yang memberi tuntunan kepada manusia untuk
mencapai taraf hidup yang sempurna dan bahagia lahir batin. Asta Siddhi meliputi: Dana,
Adnyana, Sabda, Tarka, Adyatmika, Adidewika, Adi Boktika dan Saurdha

8.      Nawa Sanga 
Nawa Sanga terdiri dari: Sadhuniragraha, Andrayuga, Guna bhiksama, Widagahaprasana,
Wirotasadarana, Kratarajhita, Tiagaprassana, Curalaksana dan Curapratyayana.

9.      Dasa Yama Bratha 
Dasa Yama Bratha  adalah sepuluh macam pengendalian diri, yaitu Anresangsya atau
Arimbhawa, Ksama, Satya, Dama, Arjawa, Priti, Prasada, Madurya dan Mardhawa.

10.  Dasa Nyama Bratha 
Dasa Nyama Bratha terdiri dari: Dhana, Ijya, Tapa, Dhyana, Upasthanigraha, Swadhyaya,
Bratha, Upawasa, Mona dan Sanana.

11.  Dasa Dharma 
Yang disebut Dasa Dharma menurut Wreti Sasana, yaitu Sauca; Indriyanigraha; Hrih; Widya;
Satya; Akrodha; Drti; Ksama; Dama dan Asteya.

            12.  Dasa Paramartha 
Dasa Paramartha ialah sepuluh macam ajaran kerohanian yang dapat dipakai penuntun dalam
tingkah laku yang baik serta untuk mencapai tujuan hidup yang tertinggi (Moksa). Dasa
Paramartha ini terdiri dari: Tapa; Bratha; Samadhi; Santa; Sanmata; Karuna; Karuni; Upeksa;
Mudhita dan Maitri.

C.  Pengertian Acubhakarma (perbuatan tidak baik) beserta jenis-jenisnya

Acubhakarma adalah segala tingkah laku yang tidak baik yang selalu menyimpang dengan Cubhakarma (perbuatan baik). Semua jenis perbuatan yang tergolong acubhakarma ini merupakan larangan-larangan yang harus dihindari di dalam hidup ini. Karena semua bentuk perbuatan acubhakarma ini menyebabkan manusia berdosa dan hidup menderita. menurut agama Hindu, bentuk-bentuk acubhakarma yang harus dihindari di dalam hidup ini adalah:

1. Tri Mala
Tri Mala adalah tiga bentuk prilaku manusia yang sangat kotor, yaitu Kasmala ialah perbuatan yang hina dan kotor, Mada yaitu perkataan, pembicaraan yang dusta dan kotor, dan Moha adalah pikiran, perasaan yang curang dan angkuh.

2. Catur Pataka
Catur Pataka adalah empat tingkatan dosa sesuai dengan jenis karma yang menjadi sumbernya yang dilakukan oleh manusia yaitu Pataka yang terdiri dari Brunaha (menggugurkan bayi dalam kandungan); Purusaghna (Menyakiti orang), Kaniya Cora (mencuri perempuan pingitan), Agrayajaka (bersuami isteri melewati kakak), dan Ajnatasamwatsarika (bercocok tanam tanpa masanya); Upa Pataka terdiri dariGowadha (membunuh sapi), Juwatiwadha (membunuh gadis), Balawadha (membunuh anak), Agaradaha (membakar rumah/merampok); Maha Pataka terdiri dari Brahmanawadha (membunuh orang suci/pendeta), Surapana (meminum alkohol/mabuk), Swarnastya (mencuri emas), Kanyawighna (memperkosa gadis), dan Guruwadha (membunuh guru); Ati Pataka terdiri dari Swaputribhajana (memperkosa saudara perempuan); Matrabhajana (memperkosa ibu), dan Lingagrahana (merusak tempat suci).

3. Panca Bahya Tusti
Adalah lima kemegahan (kepuasan) yang bersifat duniawi dan lahiriah semata-mata, yaitu Aryana; Raksasa; Ksaya; Sangga dan Hingsa.

4. Panca Wiparyaya
Adalah lima macam kesalahan yang sering dilakukan manusia tanpa disadari, sehingga akibatnya menimbulkan kesengsaraan, yaitu: Tamah, Moha, Maha Moha, Tamisra dan Anda Tamisra.

5. Sad Ripu
Sad Ripu adalah enam jenis musuh yang timbul dari sifat-sifat manusia itu sendiri, yaitu Kama; Lobha; Krodha; Mada; Moha dan Matsarya.

6.Sad Atatayi
Adalah enam macam pembunuhan kejam, yaitu Agnida; Wisada; Atharwa; Sastraghna; Dratikrama dan Rajapisuna.

7. Sapta Timira
Sapta Timira adalah tujuh macam kegelapan pikiran yaitu: Surupa, Dhana, Guna, Kulina, Yowana, Kasuran dan Sura.

8. Dasa Mala
Artinya adalah sepuluh macam sifat yang kotor. Sifat-sifat ini terdiri dari Tandri, Kleda, Leja, Kuhaka, Metraya, Megata, Ragastri, Kutila, Bhaksa Bhuwana dan Kimburu.

Ajaran Budha Dharma Tentang Manusia dan Alam



      A. Penciptaan Manusia

Dalam agama Buddha, manusia ada bukan merupakan hasil ciptaan, melainkan akibat dari proses yang terjadi terus-menerus, sehingga akhirnya terbentuklah manusia. Proses keberadaan manusia ini dipengaruhi oleh ajaran mengenai alam semesta. Adanya manusia adalah dari proses cahaya yang nantinya akan lahir kembali dan berubah dari suatu keadaan kepada keadaan lain, sampai adanya manusia. Keberadaan manusia ini sangat dipengaruhi oleh sebab dan akibat.

Proses sebab akibat ini dikenal dengan proses tumimba lahir. Proses tumimba lahir adalah sebab musabab yang saling bergantungan. Proses ini berhubungan dengan bagaimana mengatasi penderitaan hidup yang berulang-ulang, tanpa mempedulikan asal-usul kehidupan yang pertama. Segala sesuatu yang terjadi tergantung pada kejadian yang mendahului atau mengkondisikannya, inilah yang disebut sebab. Manusia akan mengalami kelahiran kembali dan keadaannya akan tergantung pada karmanya (perbuatannya) dikehidupan yang lalu.

Agama Buddha lebih menekankan peranan manusia itu sendiri untuk mendatangkan hal-hal yang baik atas dirinya sendiri maupun kejadian apa yang akan dialaminya (karma). Mengenai nyawa, Buddha mengemukakan ajarana antta, yakni ajaran mengenai tidak adanya nyawa, tidak adanya aku. Dunia yang ditanggapi oleh panca indra ini bagi kita merupakan sejumlah makhluk-makhluk yang hidup dan substansi-substansi yang mati. Sesungguhnya semua itu tidak ada, melainkan hanya dharma, unsur-unsur keadaan atau tenaga-tenaga saja. Semua itu fana, tidak ada satupun yang kekal. Inilah sengsara atau penderitaan kita, bahwa kita ini tidak tahu akan hal itu (awidya). Kita harus belajar mengerti, bahwa tiap-tiap makhluk hidup itu hanya suatu rangkaian kombinasi unsur-unsur yang daripadanya segala sesuatu terdiri, rangkaian dharma-dharma.

Dharma-dharma itu terbagi atas lima golongan yang disebut dengan skanda: Rupa, yaitu badan, yang badani, benda (materi); Vedana berupa perasaan-perasaan; Samnya, berupa angan-angan bayangan -atau tanggapan; Samskara, berupa tenaga penggerak, kemauan atau nafsu-nafsu yang menyebabkan karma; Vinaya, yaitu mengenani kejelasan atau kesadaran.

Kehidupan manusia ini diibaratkan seperti rantai. Ada 12 mata rantai kehidupan manusia: Avijja (kebodohan batin), Sankhara (bentuk-bentuk karma), Patisando Vinarna (kesadaran), nama dan raga (batin dan jasmani) Salayatana (enam landasan India), Phassa (kortex), Vidana (perasaan); Tantra (nafsu keinginan); Upadana (melekat), Bhava (terus menjadi tumbuh), jati (kelahiran); Jasa Marana (tua dan mati).

            Dalam agama Budha menyangkal terhadap adanya roh atau atma yang kekal abadi dalam diri manusia. Manusia dianggap merupakan kumpulan dari lima Kandha tanpa adanya roh atau atma di dalamnya.

Agama Budha tidak menolak sama sekali adanya suatu kepribadian dalam suatu pengertian empiris. Agama Budha hanya bermaksud menunjukkan bahwa roh kekal tidak ada di dalam suatu pengertian mutlak. Istilah filsafat Budhis bagi seorang individu adalah Santana, yaitu arus atau kelangsungan, yang mencakup unsur-unsur rohani dan jasmani”. Kekuatan kamma masing-masing individu merupakan unsur-unsur batin dan jasmani.

            Manusia selalu berada dalam dukkha karena hidup menurut ajaran Budha selalu dalam keadaan dukkha, sebagaimana diajarkan dalam Catur Arya Satyani tentang hakikat dari dukkha. Ada 3 macam dukkha, yaitu:
    Dukkha sebagai derita biasa (dukkha-dukkha)
    Dukkha sebagai akibat dari perubahan-perubahan (viparinamadukkha)
    Dukkha sebagai keadaan yang saling bergantung (sankharadukkha)

            Untuk menghilangkan dukkha manusia harus mengetahui dan memahami sumber dukkha yang disebut dukkhasamudaya, yang ada dalam diri manusia itu sendiri, yaitu berupa tanha (kehausan) yang mengakibatkan kelangsungan dan kelahiran kembali serta keterikatan pada hawa nafsu.

            Nirwana merupakan tujuan akhir dari semua pemeluk Buddha, baik sewaktu masih hidup maupun sesudah mati, yang dapat dicapai oleh setiap orang dengan jalan memahami delapan jalan mulia atau Hasta Arya Marga.

      B. Penciptaan Alam

Terbentuknya alam semesta menurut ajaran Buddha berawal dari cahaya. Namun karena ketamakan diri manusia, membuat alam semesta dan bumi ini terbentuk seperti sekarang ini. Hal ini tidak terjadi begitu saja, melainkan melalui proses yang panjang dan menghabiskan waktu berabad-abad lamanya. Dalam prosesnya, alam semesta hanya terbentang ini tidak terbatas dalam ruang dan waktu. Ada tiga susunan alam semesta, yaitu:

1.  Alam hawa nafsu (kamavacara), alam ini terdiri dari bahan-bahan kasar dan unsur-unsur bumi (api, air dan udara) yang didiami oleh makhluk-makhluk berbadan kasar (jasmani).
2.  Alam bentuk (rupavacara), alam ini didiami oleh dewa-dewa yang masih memiliki badan yang lebih halus, tetapi tidak memiliki hawa nafsu.
3.  Alam yang tidak ada bentuk (arupavacara), pada alam ini didiami oleh dewa-dewa yang tidak berbadan, artinya masuk kea lam ini setelah pengheningan cipta (nibana).

Kisah kejadian alam semesta dan manusia diuraikan oleh Buddha dalam Dighya Nikaya, Agganna Sutta, dan Bahmajala Sutta. Dalam Agganna Sutta diterangkan bahwa sebelum terbentuknya dunia baru yang ditempati manusia, dunia yang lama mengalami kehancuran (kiamat). Setelah melewati satu masa yang lama sekali, maka terbentuklah dunia yang baru. Dan seiring dengan itu, lahir pula makhluk-makhluk yang mati di alam cahaya (ambhasara). Mereka lahir secara spontan sebagai makhluk di bumi yang baru terbentuk itu. Makhluk tersebut hidup dari ciptaan batin (manomaya), memiliki tubuh yang bercahaya dan melayang-layang. Pada saat itu belum ada laki-laki dan perempuan, mereka hanya dikenal sebagai makhluk saja.

Ada tiga tradisi pikiran mengenai asal muasal dunia. Tradisi pikiran pertama menyatakan bahwa dunia ini ada karena alam dan bahwa alam bukanlah suatu kekuatan kepandaian. Bagaimanapun alam bekerja dengan caranya sendiri dan teru berubah.

Tradisi pikiran kedua berkata bahwa dunia diciptakan oleh suatu Tuhan mahakuasa yang bertanggung jawab akan segala sesuatu.

Tradisi pikiran ketiga berkata bahwa awal dunia dan kehidupan ini tidak dapat dibayangkan karena hal itu tidak memiliki awal atau akhir. Ajaran Budha sesuai dengan tradisi ketiga ini. Bertrand Russell mendukung tradisi pikiran ini dengan berkata, “Sama sekali tidak ada alasan untuk menganggap bahwa dunia memiliki suatu permulaan. Gagasan bahwa segala sesuatu harus memiliki permulaan benar-benar karena miskinnya pikiran kita.”

Tentang terjadinya alam ini dikaitkan dengan hukum Pattica-Samuppada. Arti Pattica-Samuppada kurang lebih adalah “muncul bersamaan karena syarat berantai” atau “pokok permulaan sebab akibat yang saling bergantungan”.

Yang dimaksud bergantungan disini adalah unsur-unsur penyusun alam semesta, baik materi maupun mental berinteraksi satu sama lain sedemikian hingga tidak satupun yang berdiri secara terpisah, segala sesuatu sama-sama pentingnya.

Prinsip dari ajaran hukum Patticasamuppada diberikan dalam empat rumus/formula pendek yang artinya berbunyi sebagai berikut:
    Dengan adanya ini, maka terjadilah itu.
    Dengan timbulnya ini, maka timbullah itu.
    Dengan tidak adanya ini, maka tidak adalah itu
    Dengan terhentinya ini, maka terhentilah itu.

Sistem dunia selalu muncul, berubah, hancur dan hilang di dalam semesta dalam siklus yang tak berpenghujung. Ajaran Budha tidak pernah menyatakan bahwa dunia, matahari, bulan, bintang, angin, air, siang dan malam diciptakan oleh suatu Tuhan yang berkuasa atau seorang Budha.

Umat Budha tidak percaya bahwa dunia akan tiba-tiba berakhir dalam suatu kehancuran total sama sekali. Jika sebagian tertentu dari alam menghilang, sebagian yang lain muncul kembali atau berevolusi dari sisa alam semesta sebelumnya.

C. Hubungan Manusia dan Alam

Sejak awal adanya manusia, sudah terjadi interaksi antara manusia dan hewan. Awal peradaban maju nenek moyang manusia adalah ditandai dengan ditemukannya api. Namun sudah sejak lama, sebelum dimulainya peradaban manusia dalam mengenal api, manusia telah berburu sebuah interaksi dengan hewan. Bahkan peradaban selanjutnya, manusia memanfaatkan hewan untuk diternak demi memenuhi kebutuhan hidup.

Interaksi manusia dengan alam juga telah terjadi sejak dahulu kala. Manusia telah memanfaatkan alam, untuk membuat alat berburu, atau dimulainya era bercocok tanam setelah nenek moyang manusia hidup menetap. Selain itu manusia membutuhkan makanan, air, udara yang bersih yang kesemuanya adalah bagian dari lingkungan tempat manusia hidup.

Hewan dan alam juga saling berinteraksi. Banyak hewan yang hidup dengan sumber makanan dari alam(tumbuhan), dan banyak tumbuhan yang memerlukan bantuan hewan untuk berkembang, seperti contoh serangga membantu penyerbukan bunga, kotoran atau bangkai hewan yang mati menyuburkan tanah, dan sebagainya.

Terlihat dengan jelas bahwa sejak dahulu manusia telah berinteraksi dengan alam dan hewan untuk hidup. Sampai pada akhirnya saat ini interaksi tersebut malah merusak hewan dan alam. Banyak spesies hewan yang telah punah,  pencemaran air, udara, dan tanah, perusakan lingkungan hidup dan hutan. Padahal manusia hidup di alam dan membutuhkan alam untuk hidup, namun karena ketamakan manusia alam menjadi hancur. Bahkan bukan hanya alam, hewan pun tidak terlepas dari jerat keserakahan manusia. Perburuan liar terjadi di mana-mana hanya demi kepuasan materi. Alam yang semakin hancur, telah berdampak negatif terhadap hewan. Banyak hewan mati dan akhirnya punah karena lingkungan hidup mereka dirusak oleh manusia. Lebih menyedihkan lagi, manusia masih belum sadar ataupun tidak segera bertindak walaupun manusia telah mengetahui bahwa kehancuran lingkungan akan menyebabkan kehancuran pada dirinya. Hutan yang semakin sempit, polusi udara yang disebabkan kendaraan bermotor atau industri, membuat udara menjadi terkotori dan semakin sulit dibersihkan, hingga akibatnya terjadi pemanasan global yang pada giliran selanjutnya malah akan merugikan manusia sendiri. Jadi perbuatan manusia terhadap hewan atau alam sebagai lingkungan hidup akan mengakibatkan dampak yang akhirnya akan berbalik menghantam manusia.

Ajaran Buddha memandang bahwa semua fenomena yang terjadi di alam semesta adalah saling mempengaruhi dan berinteraksi. Semua yang terjadi berdasar hukum sebab-akibat yang saling mempengaruhi. Dalam ajaran Buddha hubungan sebab-akibat yang saling berinteraksi dan mempengaruhi ini disebut Paticcasamuppada. Setiap sebab yang terjadi, baik itu dilakukan oleh manusia, hewan atau hukum geologi akan mengakibatkan akibat  yang dampaknya akan dirasakan kembali oleh manusia, hewan, atau alam.

Sang Buddha memahami bahwa penghargaan terhadap hewan dan lingkungan adalah penting. Beliau mengajarkan metta, sebagai wujud aktif dalam menghargai hewan dan karuna, sebagai wujud nyata kepedulian terhadap hewan. Sang buddha selain melarang para Bhikkhu merusak tanaman dengan memetik, juga melarang mengotori lingkungan. Itu artinya bahwa sang Buddha sangat memperhatikan lingkungan hidup dan alam karena beliau tahu bahwa manusia hidup memerlukan alam.

Ajaran Hindu Dharma Tentang Manusia dan Alam

A. Penciptaan Manusia

Manusia menurut ajaran agama Hindu terdiri dari tubuh dan jiwa atau roh. Tubuh merupakan wujud yang kelihatan dan yang bersifat fana. Ada saatnya nanti tubuh ini mengalami kebinasaan. Sedangkan jiwa atau roh itu bersifat kekal. Hal ini dapat dilihat dari petikan kitab Bhagawad Gitta II.16 dan Bhagawad Gitta II. 20 di bawah ini:

"Apa yang tak akan pernah ada; apa yang ada tak akan pernah ada; apa yang ada tak akan pernah berhenti ada; keduanya hanya dapat dimengerti oleh orang yang melihat kebenaran. Yang tak pernah lahir dan mati; juga setelah ada tak akan berhenti ada, tidak dilahirkan, kekal, abadi, selamanya, tidak mati dikala tubuh jasmani mati."

Dalam agama Hindu diajarkan bahwa penciptaan manusia melalui Sari pancamahabhuta yang bersatu dengan bumi kemudian menciptakan sadrasa (enam rasa), yaitu: rasa manis, pahit, asam, asin, pedas, dan sepat. Kemudian unsur-unsur ini bercampur dengan unsur-unsur yang lain, yaitu cita, budhi, ahangkara, dasendrya, pancatanmatra, dan pancamahabhuta. Pencampuran ini menghasilkan dua unsur benih kehidupan, yaitu mani wanita (swanita) dan mani laki-laki (sukla). Kedua unsur benih kehidupan itu bertemu. Pertemuannya terjadi seperti halnya dengan pertemuan purusa dan prakrti, serta melahirkan manusia.

Sebelum menciptakan manusia, Tuhan Yang Maha Esa, menciptakan mulai dari yang paling halus menuju yang paling kasar, yaitu menciptakan Dewa-dewa (malaikat), Gandharwa, Pisaca, Raksasa, Yakosa dan sejenisnya, kemudian baru mahluk-mahkluk berbadan kasar seperti manusia dan binatang. Manusia pertama disebut Manu, atau Swayambhu yang artinya: Mahluk berfikir yang menjadikan dirinya sendiri. Dari kata Manu sekarang ini berkembang menjadi kata manusya (manusia) yang berarti: keturunan manu.

Dalam zaman Brahmana diuraikan bahwa manusia terdiri dari dua bagian, yaitu bagian yang tampak dan tak nampak. Bagian yang tampak disebut rupa, yang tersusun dari lima unsur, yaitu: rambut, kulit, daging, tulang, dan sum-sum. Bagian yang tidak nampak disebut nama, terdiri dari unsur-unsur yang menentukan hidup. yaitu: nafas (prana atau atman), akal (budhi), pemikiran (manas), penglihatan (caksu), dan pendengaran (strotra). Manusia memiliki lima alat pengindraan (Buddhendriya), yaitu penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa dan peraba. Juga memiliki lima alat bertindak (karmendriya), yaitu: tangan, alat melahirkan (upastha), alat mengeluarkan (payu), kaki, lidah.

Dalam diri manusia terdapat atman yang merupakan percikan dari sifat-sifat sang hyang widhi, meskipun demikian  manusia tidaklah sempurna, fana, dapat mati. Hal ini disebabkan karena Atman dipenjarakan di dalam tubuh, yang mengakibatkan manusia dikuasai oleh awidya. Akibat awidya lebih lanjut ialah manusia dikuasai oleh hukum karma dan samsara, kelahiran kembali (purnabhawa). Hukum karma tadi dapat menyebabkan orang dilahirkan kembali sebagai manusia, binatang atau tumbuh-tumbuhan. Jika orang dilahirkan kembali sebagai manusia, hal itu adalah suatu keuntungan yang besar, sebab kelahiran kembali sebagai manusia memberi kesempatan untuk meningkatkan kesempurnaan hidup, guna mengatasi kesengsaraan. Itulah sebabnya dewa-dewa pun perlu dilahirkan kembali sebagai manusia dulu, agar dapat mencapai kebebasan abadi (nirwana).

B. Penciptaan Alam

Proses penciptaan alam semesta berawal dari tidak ada apa-apa, yang ada hanya Tuhan Yang Maha Esa (Paramasiwa/Nirguna Brahma/Tuhan Tidak berbentuk), sunyi, kosong, gelap, sepi dan hampa. Kemudian Tuhan mewujudkan diriNya menjadi Sadasiwa/Saguna Brahma (Tuhan berwujud) yang merupakan penunggalan dari Purusa (unsur dasar kejiwaan) dan Pradana (unsur dasar kebendaan). Baik Purusa maupun Prakerti keduanya adalah tanpa permulaan, sifatnya tidak dapat diamati.

Penyatuan keduanya (unsur dasar kejiwaan dan unsur dasar kebendaan) melahirkan Tiga sifat yang disebut Triguna yaitu
Satwam: sifat dasarnya tenang, terang dan menerangi.
Rajas: sifat dasarnya aktif dan dinamis.
Tamas: sifat dasarnya berat dan gelap, statis.

Alam ini dipandang oleh Hinduisme sebagai diciptakan oleh dewa Brahma berkali-kali, setelah berkali-kali mengalami kehancuran akibat kekuatan penghancur dari Siwa Mahakala. Dalam tiap-tiap penciptaan terdapat zaman-zaman yang mengandung 4 tingkatan (periode), yaitu:
1.      Kreta Yoga, adalah zaman terdapatnya kebahagiaan abadi.
2.      Dvapara Yoga, adalah zaman mulai timbulnya dosa/noda-noda.
3.      Treta Yoga, adalah zaman yang penuh sengsara dan merajalelanya dosa-dosa.
4.     Kali Yoga, adalah zaman yang penuh dengan kejahatan yang banyak menimpa umat manusia.

Akhirnya sebagai periode penutup, maka timbullah masa Pralaya yaitu kehancuran total dari pada alam. Tetapi sesudah itu dewa Brahma menciptakan lagi dunia baru yang dimulai pada Malam Brahma yang digambarkan sebagai malam gelap gulita.

Menurut pandangan agama Hindu terhadap alam semesta serta mahluk/manusia ciptaan Maha pencipta Sang Hyang Widhi ini, bahwa sebelum Hyang Widhi mencipta, sebenarnya tiada terdapat suatu apapun di alam semesta ini. Pustaka Upanisada (Brihad-aranyaka dan Chandogya-Upanisada) mengatakan: “sebelum diciptakan alam ini tidak ada apa-apa. Sebelum alam diciptakan hanya Hyang Widhi yang ada. Maha Esa dan tidak ada duanya”. Ciptaan Hyang Widhi adalah merupakan pancaran ke-Maha-Kuasaan-Nya (Wibhuti) Hyang Widhi Wasa sendiri. Wibhuti ini terpancar melalui tapa. Tapa adalah pemusatan tenaga fikiran yang terkeram hingga menimbulkan panas yang memancar. Dalam pustaka Taittrriya-Upanisadha ada disebutkan “Sang Hyang Widhi Wasa melakukan Tapa. Setelah melakukan Tapa, terciptalah semuanya, yaitu segala apa yang ada di alam ini. Setelah menciptakan, kedalam ciptaanNya itu Hyang Widhi menjadi satu”. Kekuatan Tapa-Nya menyebabkan terwujudnya dunia ini. Bentuk dunia ini bulat seperti telur, maka alam semesta ini dalam kitab Puruna disebut “Brahma-Anda” (telur Hyang Widhi).

Tegasnya Tuhan Yang Maha Esa/Sang Hyang Widhi menciptakan alam semesta ini daripada diriNya sendiri, tetapi karena ke-Maha-Kuasaan-Nya, dirinya itu tetap sempurna. Dalam kitab Upanisada ada diletakkan:
“Dari yang sempurna lahirlah yang sempurna, walaupun yang sempurna (Sang Hyang Widhi) diambil oleh yang sempurna (alam semesta) tetapi sisanya (Sang Hyang Widhi) tetap sempurna adanya”.

Menurut agama Hindu tidak dapat diketahui kapan alam semesta ini diciptakan, tetapi yang jelas adalah: Sang Hyang Widhi secara continue mengadakan ciptaan sebagai tersebut dalam kitab suci Bhagavadgita, Bab III, sloka 24:
“jika aku berhenti bekerja, dunia ini akan hancur-lebur. Dan aku jadi pencipta keruntuhan memusnahkan semua mahluk/manusia ini semua”

C. Hubungan Manusia dan Alam

konsep dasar agama Hindu tentang hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungan hidup/alam dimulai dari konsep “Rta” dan “ Yadnya”.

Rta Sebagai bagian imanen (tak terpisahkan) dari alam. Manusia pada setiap tahap dalam kehidupannya dikuasai oleh fenomena dan hukum alam.

Yadnya merupakan hakikat hubungan antara manusia dengan alam yang terjadi dalam keadaan harmonis, seimbang antara unsur-unsur yang ada pada alam dan unsureunsur yang dimiliki oleh manusia. Hubungan timbal balik antara manusia dan alam harus selalu dijaga, salah satu cara yang dipakai untuk menjaga hubungan timbal balik ini.

Manusia hidup dalam suatu lingkungan tertentu. Manusia memperoleh bahan keperluan hidup dari lingkungannya. Manusia dengan demikian sangat tergantung kepada lingkungan/alam semesta. Oleh karena itu manusia harus selalu memperhatikan situasi dan kondisi lingkungannya. Lingkungan harus selalu dijaga dan dipelihara serta tidak dirusak. Lingkungan harus selalu bersih dan rapi. Lingkungan tidak boleh dikotori atau dirusak. Hutan tidak boleh ditebang semuanya, binatang-binatang tidak boleh diburu seenaknya, karena dapat menganggu keseimbangan alam. Lingkungan justu harus dijaga kerapiannya, keserasiannya dan kelestariannya. Lingkungan yang ditata dengan rapi dan bersih akan menciptakan keindahan. Keindahan lingkungan dapat menimbulkan rasa tenang dan tenteram dalam diri manusia.