Konsep
ketuhanan dalam agama Buddha berbeda dengan konsep dalam agama Samawi dimana
alam semesta diciptakan oleh Tuhan dan tujuan akhir dari hidup manusia adalah
kembali ke surga ciptaan Tuhan yang kekal.
“Ketahuilah
para bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang
Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para Bhikkhu, apabila tidak ada Yang Tidak
Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak
akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan,
pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para bhikkhu, karena ada Yang Tidak
Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada
kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan
dari sebab yang lalu”.
Ungkapan di
atas adalah pernyataan dari Buddha yang terdapat dalam Sutta Pitaka, Udana VIII
: 3, yang merupakan konsep Ketuhanan Yang Mahaesa dalam agama Buddha. Dalam hal
ini, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah suatu yang tanpa aku (anatta), yang tidak
dapat dipersonifikasikan dan yang tidak dapat digambarkan dalam bentuk apa pun.
Tetapi dengan adanya Yang Mutlak, yang tidak berkondisi (asamkhata) maka
manusia yang berkondisi (samkhata) dapat mencapai kebebasan dari lingkaran
kehidupan (samsara) dengan cara bermeditasi.
Di dalam agama
Buddha tujuan akhir hidup manusia adalah mencapai kebuddhaan (anuttara samyak
sambodhi) atau pencerahan sejati dimana satu makhluk tidak perlu lagi mengalami
proses tumimbal lahir. Untuk mencapai itu pertolongan dan bantuan pihak lain
tidak ada pengaruhnya. Tidak ada dewa - dewi yang dapat membantu, hanya dengan
usaha sendirilah kebuddhaan dapat dicapai. Buddha hanya merupakan contoh, juru
pandu, dan guru bagi makhluk yang perlu melalui jalan mereka sendiri, mencapai
pencerahan rohani, dan melihat kebenaran & realitas sebenar-benarnya.
Sang Buddha
mengajarkan ketuhanan tanpa menyebut nama Tuhan. Tuhan yang tanpa batas, tak
terjangkau oleh alam pikiran manusia, tidak diberikan suatu nama, karena dengan
sendirinya nama itu akan memberi pembatasan kepada yang tidak terbatas.
Dalam agama Buddha
terdapat banyak buddha, tetapi hanya ada satu dharmakaya. Dharmakaya yang merupakan
sumber perwujudan panca dhyani buddha dinamakan Adi Buddha. ”buddha tanpa awal
dan akhir adalah adi buddha”. Sebutan adi buddha
berasal dari tradisi aisvarika (isvara, tuhan, maha buddha),
aliran mahayana di nepal, yang menyebar lewat benggala, hinnga dikenal pula di
jawa.
Adi buddha
merupakan buddha primordial, yang esa atau dinamakan juga paramadhi buddha
(buddha yang pertama dan tiada banding). Adi buddha timbul dari kekosongan
(sunyata) dan dapat muncul dalam berbagai bentuk sehingga disebut visvarupa
serta namanya pun tidak terbilang banyaknya. Adi buddha sering
diidentifikasikan sebagai salah satu buddha mistis, berbeda-beda menurut sekte.
Dengan memahami arti dari setiap sebutan yang maha esa, yang maha pengasih,
yang maha tahu dan sebagainyayang bermacam-macam, sama menunjuk dari sifat
tuhan yang satu.
Konsep adi
buddha terdapat dalam kitabnamangsiti, karandavyuha, svayambhupurana, maha
vairocanabhisambodhi sutra, guhya samaya sutra, tattvasangraha sutra, dan
paramadi buddhodharta sri kalacakra sutra. Di indonesia dikenal dengan kitab
namangsiti versi chandrakirti dari sriwijaya dan sanghyang kama hayanikan dari
zaman pemerintahan mpu sendok.
Untuk memahami
konsep ketuhanan dalam Agama Buddha, perlu dimengerti terlebih dahulu bahwa
dalam masyarakat pada umumnya terdapat dua cara pendekatan. Pertama, Tuhan
dikenal melalui bentuk manusia. Oleh karena itu, tidak jarang dijumpai istilah
Tuhan melihat umatnya, atau Tuhan mendengar doa umatnya serta masih banyak
lainnya.
Pendekatan
kedua, Tuhan dikenal melalui sifat manusia. Misalnya, Tuhan marah, Tuhan
cemburu, Tuhan mengasihi, Tuhan adil, serta masih banyak istilah sejenis
lainnya. Berbeda dengan yang telah disampaikan, ketuhanan dalam agama buddha
tidak menggunakan kedua cara di atas. Agama buddha menggunakan aspek nafi atau
penolakan atas segala sesuatu yang dapat dipikirkan oleh manusia. Jadi,
pengertian Nibbana atau Tuhan dalam agama buddha adalah yang tidak terlahirkan,
yang tidak menjelma, yang tidak bersyarat, yang tidak kondisi. yang tidak
terpikirkan, serta masih banyak kata tidak lainnya. Secara singkat, Tuhan atau
Nibbana adalah mutlak, tidak ada kondisi apapun juga. Pendekatan yang berbeda
ini sehubungan dengan ketidakmampuan bahasa manusia untuk menceritakan segala
sesuatu bahkan hal sederhana yang ada di sekitar hidup manusia.
C. Bhakti Puja
Banyak orang
sering menyebutkan secara keliru bahwa umat buddha melakukan sembahyang di
vihara. Untuk itu, sebaiknya harus dimengerti terlebih dahulu istilah
sembahyang yang sebenarnya terdiri dari dua suku kata yaitu sembah berarti
menghormat dan hyang yaitu dewa. Dengan demikian, sembahyang berarti menghormat,
menyembah para dewa. Apabila sembahyang diartikan seperti itu, maka umat buddha
sesungguhnya tidak melakukan sembahyang. Umat buddha bukanlah umat yang
menghormat maupun menyembah para dewa. Umat buddha mengakui keberadaan para
dewa dewi di surga, namun umat budha tidak sembahyang kepada mereka. Umat
buddha juga tidak berdoa karena istilah ini mempunyai pengertian ada permintaan
yang disebutkan ketika seseorang sedang berdoa. Umat buddha tentu
saja tidak pernah meminta kepada arca sang buddha maupun kepada pihak lain.
Keterangan ini jelas menegaskan bahwa umat buddha bukanlah penyembah berhala
karena memang tidak pernah meminta-minta apapun juga kepada arca sang buddha,
arca yang lain bahkan kekuatan di luar manusia lainnya. Daripada disebut
sembahyang maupun doa, umat buddha lebih sesuai dinyatakan sedang melakukan
puja bakti. Istilah puja bakti ini terdiri dari kata puja yang bermakna
menghormat dan bakti yang lebih diartikan sebagai melaksanakan ajaran sang
buddha dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam melakukan
puja bakti, umat buddha melaksanakan tradisi yang telah berlangsung sejak jaman
sang buddha masih hidup yaitu umat datang, masuk ke ruang penghormatan dengan
tenang, melakukan namakara atau bersujud yang bertujuan untuk menghormat kepada
lambang sang buddha, jadi bukan menyembah patung atau berhala. Kebiasaan
bersujud ini dilakukan karena sang buddha berasal dari India. Sudah menjadi
tradisi sejak jaman dahulu di berbagai negara timur termasuk India bahwa ketika
seseorang bertemu dengan mereka yang dihormati, maka ia akan melakukan sujud
yaitu menempelkan dahi ke lantai sebagai tanda menghormati mereka yang layak
dihormati dan menunjukkan upaya untuk mengurangi keakuan sendiri.
Karena bersujud
di depan altar ataupun arca Sang Buddha hanyalah bagian dari tradisi, maka para
umat dan simpatisan boleh saja tidak melakukannya apabila batinnya tidak
berkenan untuk melakukan tindakan itu. Tidak masalah, karena sebentuk arca
tidak mungkin menuntut dan memaksa seseorang yang berada di depannya untuk
bersujud. Namun, dengan mampu bersujud, maka seseorang akan mempunyai
kesempatan lebih besar untuk berbuat baik dengan badannya. Ia belajar bersikap
rendah hati.
Setelah memasuki
ruangan dan bersujud, umat buddha dapat duduk bersila di tempat yang telah
disediakan. Umat kemudian secara sendiri atau bersama-sama dengan umat yang ada
dalam ruangan tersebut membaca paritta yaitu mengulang kotbah sang buddha.
Diharapkan dengan pengulangan kotbah sang buddha, umat mempunyai kesempatan
untuk merenungkan isi uraian dhamma sang buddha serta berusaha melaksanakannya
dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, semakin lama seseorang mengenal
dhamma, semakin banyak ia melakukan puja bakti, semakin banyak kotbah sang
buddha yang diulang, maka sudah seharusnya ia semakin baik pula dalam tindakan,
ucapan maupun pola pikirnya.
Itulah makna
sesungguhnya dari pengertian puja bakti yaitu menghormat dan melaksanakan
ajaran sang buddha. Sekali lagi, umat buddha tidak berdoa, juga tidak
sembahyang. Namun, sebagai manusia biasa, adalah wajar apabila umat buddha
mempunyai keinginan atau permintaan, misalnya ingin banyak rejeki, ingin kaya
dan sebagainya. Untuk mencapai keinginan yang dimiliki, secara tradisi umat
buddha disarankan untuk melakukan kebajikan terlebih dahulu dengan badan,
ucapan dan juga pikiran. Setelah berbuat kebajikan, ia dapat mengarahkan
kebajikan yang telah dilakukan tersebut agar memberikan kebahagiaan seperti
yang diharapkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar