tanpa judul

Vishnu

Jumat, 29 Mei 2015

Hari-Hari Suci dan Tempat-Tempat Suci Agama Budha



A.    Hari-Hari Suci

1.      Hari suci Waisak 

            Hari suci waisak puja biasanya jatu pada purnama sidhi bulai mei- juni. Pada hari suci ini umat Buddha memperingati 3 peristiwa penting dalam masa hidup sang Buddha gautama yaitu :
1. Lahir nya sidharta gautama di taman lumbini, tahun 623 SM
2. Sidarta Gotama mencapai bodhi ( Penerangan Sempurna) dan menjadi Buddha , tahun 588 SM, pada usianya yang ke 35 tahun di bawah pohon ghodhi, hutan gaya
3. Buddha Gotama mencapai Parinivana tahun 543 SM, pada usia 80 tahun, di kusinara atau kusinaraga.

            Peristiwa Suci Waisak mengajak umat Buddha untuk merenungkan dan menghayati kembali perjuangan hidup Buddha Gotama. Seorang Putera Mahkota Siddharta Gotama yang dibesarkan dengan segala kemewahan di dalam istananya, ternyata rela meninggalkan semuanya itu demi cinta kasihnya kepada semua makhluk. Beliau pergi meninggalkan istana bukan karena terpaksa atau dipaksa, juga bukan karena kepentingan pribadi. Beliau pergi meninggalkan istana dan segala kesenangan duniawi karena dorongan untuk mencari sesuatu yang hakiki. Beliau berjuang dengan gigih dan pantang menyerah dalam upaya mencari jalan yang dapat membebaskan makhluk dari segala bentuk penderitaan.

2.      Hari Suci Asadha

Hari suci Asadha puja biasanyajatuh pada purnamasidhi bulan mei-juni. Pada hari suci ini umat Buddhamemperingati dua peristiwa penting dalam masa hidup sang Buddha sang Buddhagauama yaitu :      
1. Saat pertamakalinya sang Buddha gautama memberikan khotbah setelah beliau menjad uddha, khotbah tersebut di kenal dengan nama “dharmacakrapravartana” atau “ khotbah pemutaran roda kebenaran “ yang berisi catvari arya satyani/empat kesunyataan mulia.  
2. Pada saatini pulalah sangha yang pertama muncul di dunia engan sang Buddha gautama sendiri yang bertindak selaku nayaka (ketuan) nya.

Cattari Ariya Saccani atau Empat Kesunyataan Mulia itu terdiri atas :
1. Dukkha Ariyasacca, yang berarti Kesunyataan Mulia tentang adanya dukkha.
2. Dukkha Samudaya Ariyasacca, yang berarti Kesunyataan Mulia tentang sebab dukkha.
3. Dukkha Nirodha Ariyasacca, yang berarti Kesunyataan Mulia tentang lenyapnya dukkha
4. Dukkha Nirodha Gamini Patipada Ariyasacca, yang berarti Kesunyataan Mulia tentang Jalan untuk melenyapkan dukkha.

3.      Hari Suci Kathina
        
Hari suci kathina puja di rayakan tiga bulan setelah Asadha, perayaan dapat di langsungkanpada dalam waktu satu bulan sesudah hari pertama berakhirnyamasa vassa.

            Umat Buddha berterima kasih kepada Sangha dengan menyelenggarakan perayaan Kathina Puja. Umat Buddha berterima kasih kepada para Bhikkhu / Bhikkhuni yang telah menjalankan masa vassa di daerah mereka, dengan mempersembahkan Kain Kathina (Kathinadussam) yang berwana putih sebagai bahan pembuatan jubah Kathina. Dalam Kitab Mahavagga berbahasa Pali, bagian dari Vinaya Pitaka, Sang Buddha mengatakan kepada para bhiksu, ketika Beliau berada di Jetavana Arama milik Anathapindhika, dikota Savantthi, sebagai berikut :
“Aku memperolehkan Anda sekalian, oh para bhikku,
untuk menerima Kain Kathina
sebagai bahan pembuatan jubah Kathina
jika telah menyelesaikan masa vassa”

B.     Pengertian dan Fungsi Vihara

Wihara adalah rumah ibadah agama Buddha, bisa juga dinamakan kuil. Pada jaman Buddha masih hidup vihara digunakan sebagai tempat tinggal para bhikkhu. Sekarang vihara beralih fungsi sebagai tempat untuk melaksanakan puja bakti atau persembahan puja dari umat Buddha kepada sang Buddha.

Vihara yang lengkap terdiri dari:
  1. Uposathagara, yaitu gedung uposatha (pesamuan para bhikkhu), uposathagara merupakan suatu tempat di vihara  yang digunakan untuk  melakukan kegiatan yang berhubungan dengan penerangan vinaya, penabisan bhikkhu, untuk upacara pembacaan patimokha yaitu 227 peraturan kebhikkhuan pada bulan gelap dan bulan terang, upacara untuk mengakui kesalahan-kesalahan para bhikkhu pada saat melaksanakan vassa, tempat untuk melakukan upacara persembahan jubah khatina.
  2. Dhammasala atau dharmasala, yaitu tempat puja bakti dan pembabaran dhamma. Ditempat inilah umat Buddha melakukan puja bakti  dan mendengarkan uraian dhamma dari para bhikkhu, pandita atau dharmaduta.
  3. Kuti, yaitu tempat tinggal untuk para bhikkhu, bhikkhuni, samanera dan samaneri. Didalam kuti para bhikkhu, bhikkhuni, samanera dan samaneri tinggal, melatih diri, seperti bermeditasi.
  4. Perpustakaan, sama seperi fungsi perpustakaan lainya yaitu sebagai tempat untuk buku-buku agama atau yang isinya berhubungan dengan keagamaan dan berbagai pengetahuan lainya. Juga merupakan tempat menyimpan kitap suci. Perpustakaan bisa digunakan untuk para bhikkhu maupun umat awam yang ingin belajar dhamma.
  5. Pohon Bodhi, pohon kebijaksanaan yang mengingatkan pada pencerahan dari pertapa gotama.
Di vihara umat Buddha melakukan penghormatan kepada buddharupang (patung Buddha) sebagai simbolis dari perwujudan tubuh Buddha. Umat bisa melakukan bakti sosial, sharing dhamma, dan berbagai kegiatan lainya yang berhubungan dengan keagamaan di vihara.

C. Candi-Candi Budha di Indonesia

1. Candi Borobudur
Borobudur adalah nama sebuah candi Buddha yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Lokasi candi adalah kurang lebih 100 km di sebelah barat daya Semarang dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta. Candi ini didirikan oleh para penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi pada masa pemerintahan wangsa Syailendra.

Ciri-Ciri nya :
Candi Borobudur berbentuk punden berundak, yang terdiri dari enam tingkat berbentuk bujur sangkar, tiga tingkat berbentuk bundar melingkar dan sebuah stupa utama sebagai puncaknya. Selain itu tersebar di semua tingkat-tingkatannya beberapa stupa.

2. Candi Mendut
Candi Mendut adalah sebuah candi berlatar belakang agama Buddha. Candi ini terletak di desa Mendut, kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, beberapa kilometer dari candi. Borobudur.

Candi Mendut didirikan semasa pemerintahan Raja Indra dari dinasti Syailendra. Di dalam prasasti Karangtengah yang bertarikh 824 Masehi, disebutkan bahwa raja Indra telah membangun bangunan suci bernama veluvana yang artinya adalah hutan bambu. Oleh seorang ahli arkeologi Belanda bernama J.G. de Casparis, kata ini dihubungkan dengan Candi Mendut.

Ciri-Ciri nya :
Hiasan yang terdapat pada candi Mendut berupa hiasan yang berselang-seling. Dihiasi dengan ukiran makhluk-makhluk kahyangan berupa bidadara dan bidadari, dua ekor kera dan seekor garuda.

3. Candi Ngawen
Candi Ngawen adalah candi Buddha yang berada kira-kira 5 km sebelum candi Mendut dari arah Yogyakarta, yaitu di desa Ngawen, kecamatan Muntilan, Magelang. Menurut perkiraan, candi ini dibangun oleh wangsa Syailendra pada abad ke-8 pada zaman Kerajaan Mataram Kuno. Keberadaan candi Ngawen ini kemungkinan besar adalah yang tersebut dalam prasasti Karang Tengah pada tahun 824 M.

Ciri-Ciri nya :
Candi ini terdiri dari 5 buah candi kecil, dua di antaranya mempunyai bentuk yang berbeda dengan dihiasi oleh patung singa pada keempat sudutnya. Sebuah patung Buddha dengan posisi duduk Ratnasambawa yang sudah tidak ada kepalanya nampak berada pada salah satu candi lainnya. Beberapa relief pada sisi candi masih nampak cukup jelas, di antaranya adalah ukiran Kinnara, Kinnari, dan kala-makara.

4.Candi Lumbung
Candi Lumbung adalah candi Buddha yang berada di dalam kompleks Taman Wisata Candi Prambanan, yaitu di sebelah candi Bubrah. Menurut perkiraan, candi ini dibangun pada abad ke-9 pada zaman Kerajaan Mataram Kuno. Candi ini merupakan kumpulan dari satu candi utama (bertema bangunan candi Buddha)

Ciri-cirinya :
Dikelilingi oleh 16 buah candi kecil yang keadaannya masih relatif cukup bagus.

5.Candi Banyunibo
Candi Banyunibo yang berarti air jatuh-menetes (dalam bahasa Jawa) adalah candi Buddha yang berada tidak jauh dari Candi Ratu Boko, yaitu di bagian sebelah timur dari kota Yogyakarta ke arah kota Wonosari. Candi ini dibangun pada sekitar abad ke-9 pada saat zaman Kerajaan Mataram Kuno. Pada bagian atas candi ini terdapat sebuah stupa yang merupakan ciri khas agama Buddha.

Ciri-cirinya:
Keadaan dari candi ini terlihat masih cukup kokoh dan utuh dengan ukiran relief kala-makara dan bentuk relief lainnya yang masih nampak sangat jelas. Candi yang mempunyai bagian ruangan tengah ini pertama kali ditemukan dan diperbaiki kembali pada tahun 1940-an, dan sekarang berada di tengah wilayah persawahan.

Upacara Kelahiran, Perkawinan dan Kematian Dalam Agama Budha



A.    Makna Kelahiran dan Upacaranya

Dalam Buddhisme Theravada, ada praktek ritual tertentu diamati ketika seorang anak lahir dari orangtua Buddhis. Mereka pertama kali menempatkan anak di lantai ruang kuil atau di depan patung Buddha untuk menerima berkat-berkat dari Tiga Permata (Buddha, sangha dan dharma).

Setelah kelahiran anak, orang tua sering berkonsultasi biarawan ketika memilih nama, yang harus memuaskan, sementara bahasa menyampaikan suatu arti yang baik. Tergantung pada daerah, praktek-praktek agama lain mungkin mengikuti kelahiran. Di bagian tengah negara itu, misalnya, bayi akan memiliki lazim kepalanya dicukur ketika ia berusia satu bulan. Hal ini pada dasarnya ritus Brahminic, yang disebut upacara khwan, dapat disertai dengan upacara Budha di mana rahib membacakan ayat-ayat dari teks-teks suci.

Pentahbisan. Ritus kedua dalam rentang kehidupan manusia kebanyakan Thailand penahbisan ke dalam kap biksu. Secara tradisional, seorang pemuda yang tidak diterima secara sosial sampai ia telah menjadi seorang biarawan, dan banyak orangtua bersikeras bahwa setelah seorang anak mencapai usia dua puluh ia akan ditahbiskan sebelum menikah atau memulai karir resmi. Ada juga alasan lain untuk memasuki kap biksu, seperti untuk membuat manfaat untuk jiwa berangkat dari kerabat, atau untuk orang tuanya ketika mereka masih hidup, atau untuk membayar janji kepada Sang Buddha setelah meminta dia untuk memecahkan masalah pribadi atau keluarga.

B.     Makna Perkawinan dan Upacaranya

Perkawinan adalah perjodohan laki-laki dan perempuan menjadi suami isteri. Di dalam Tipitaka tidak banyak ditemukan uraian-uraian yang mengatur masalah perkawinan, akan tetapi dari berbagai sutta dapat diperoleh hal-hal yang sangat penting bagi suami dan isteri untuk membentuk perkawinan yang bahagia.

Walaupun di dalam agama Buddha tidak ditentukan secara tegas azas monogami yang dianut, tetapi dengan berdasar kepada Anguttara Nikaya 11.57 yaitu pernikahan yang dipuji oleh Sang Buddha adalah perkavvinan antara seorang laki-laki yang baik (dewa) dengan seorang perempuan yang baik (dewi), maka dapat disimpulkan bahwa azas perkawinan menurut agama Buddha adalah azas monogami, yaitu dalam suatu perkawinan seorang laki-laki hanya boleh mempunyai seorang isteri dan seorang perempuan hanya boleh mempunyai seorang suami.

Upacara Perkawinan

A. Tempat upacara
Upacara perkawinan menurut tatacara agama Buddha dapat dilangsungkan di vihara,
cetiya atau di rumah salah satu mempelai yang memenuhi syarat untuk pelaksanaan
upacara perkawinan.

B. perlengkapan atau peralatan upacara
  1. Altar dimana terdapat Buddharupang.
  2. Lilin lima warna (biru, kuning, merah, putih, jingga)
  3. Tempat dupa
  4. Dupa wangi 9 batang
  5. Gelas/mangkuk kecil berisi air putih dengan bunga (untuk dipercikkan)
  6. Dua vas bunga dan dua piring buah-buahan untuk dipersembahkan oleh kedua mempelai
  7. Cincin kawin
  8. Kain kuning berukuran 90 X 125 cm2
  9. Pita kuning sepanjang 100 cm
  10. Tempat duduk (bantal) untuk pandita, kedua mempelai, dan bhikkhu (apabila hadir)
  11. Surat ikrar perkawinan
  12. Persembahan dana untuk bhikkhu (apabila hadir), dapat berupa bunga, lilin, dupa dan lain-lain.
C.Pelaksanaan upacara
  1. Pandita dan pembantu pandita sudah siap di tempat upacara.
  2. Kedua mempelai memasuki ruangan upacara dan berdiri di depan altar.
  3. Pandita menanyakan kepada kedua mempelai, apakah ada ancaman atau paksaan yang mengharuskan mereka melakukan upacara perkawinan menurut tatacara agama Buddha, apabila tidak ada maka acara dapat dilanjutkan.
  4. Penyalaan lilin lima warna oleh pandita dan orang tua dari kedua mempelai.
  5. Persembahan bunga dan buah oleh kedua mempelai.
  6. Pandita mempersembahkan tiga batang dupa dan memimpin namaskara
  7. Pernyataan ikrar perkawinan
  8. Pemasangan cincin kawin.
  9. Pengikatan pita kuning dan pemakaian kain kuning.
  10. Pemercikan air pemberkahan oleh orang tua dari kedua mempelai dan pandita.
  11. Pembukaan pita kuning dan kain kuning.
  12. Wejangan oleh pandita.
  13. Penandatanganan Surat lkrar Perkawinan.
  14. Namaskara penutup dipimpin oleh pandita.
Menurut Peraturan Pemerintah R.I. Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Bab III pasal 3 maka perkawinan (menurut tatacara agama Buddha) dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi (yang dimaksud dengan Pegawai Pencatat adalah pegawai pencatat perkawinan dan perceraian atau pegawai catatan sipil).

Apabila upacara perkawinan tidak dihadiri oleh Pegawai Pencatat, maka Pegawai Pencatat dapat diwakili oleh Pembantu Pegawai Pencatat Perkawinan (Buddhis) yang diangkat oleh Gubernur setempat.
Apabila upacara perkawinan tidak dihadiri oleh Pegawai Pencatat maupun Pembantu Pegawai Pencatat Perkawinan (Buddhis), maka pandita yang memimpin upacara perkawinan mengeluarkan Surat Keterangan Perkawinan yang berlaku sebagai bukti bahwa upacara perkawinan menurut tatacara agama Buddha telah dilaksanakan, surat tersebut bersama-sama dengan dokumen pendukung linnya dibawa ke Kantor Catatan Sipil untuk dicatatkan.

C.    Makna Kematian dan Upacaranya

Agama Buddha mengajarkan, bahwa kematian bukanlah akhir dari segalanya. Kematian hanyalah satu fase peralihan antara hidup yang sekarang dengan kehidupan dialam tumimbal lahir yang baru.

Bagi mereka yang sewaktu msih hidup rajin berlatih membina diri, menghayati dan melaksanakan ajaran Hyang Buddha. Maka dia akan mengetahui kapan saat ajalnya tiba, bahkan ada yang mengetahui jauh sebelum waktunya, bisa beberapa : tahun; bulan; minggu; atau 1-2 hari sebelumnya tergantung dari ketakutan dan kemantapannya  di dalam menghayati Buddhi Darma. Sehingga menjelang saatnya tiba, dia dapat melakukan persiapan seperlunya, yaitu membersihkan diri dan menukar pakaian, lalu bermeditasi sambil menyebut Namo Amhitabha Buddha. 

Proses tumimbal lahir
Budha menjelaskan peroses tumimbal-lahir  sebagai sebab-musabab yang saling bergantungan. Proses ini terutama berhubungan dengan bagai mana mengatasi penderitaan hidup yang berulang-ulang tanpa mempedulikan teka-teki asa mula kehidupan yang pertama.tiada sesuatu yang muncul dari ketidak adaan. Tiada sesuatu atau makhluk yang mncul tanpa ada sebab terlebih dahulu. Segala sesuatu tergantung pada kejadian yang mendahului atau mengkondisikannya, yang disebut sebab.

Kelompok yang tidak tumibal lahir:
1.  Alam Buddha
2. Alam Bodhisattva
3. Alam Pratyeka Buddha
4. Alam Arhat
Kelompok yang masih tumimbal lahir :
1. Alam Dewa
2. Alam Manusia
3. Alam Asura
4. Alam Binatang
5. Alam Setan Gentayangan
6. Alam Neraka

Upacara Kelahiran, Perkawinan dan Kematian Dalam Agama Hindu



1. Makna Kelahiran dan Upacaranya

Upacara manusa yadnya erat sekali hubungannya dengan Catur Purusa Arta yang artinya empat tingkatan atau jenjang dalam menjalani hidup ini. Bagian dari catur purusa arta adalah brahmacarigrehastawanaprasta, dan bhiksuka. Dalam Jenjang-jenjang hidup inilah kita akan mengalami yang disebut manusia dalam agama tadi.
Upacara ini dilaksanakan pada waktu bayi baru dilahirkan. Upacara ini adalah sebagai ungkapan kebahagiaan atas kehadiran si kecil di dunia.

Sarana upacara :
1. Dapetan, terdiri dari nasi berbentuk tumpeng dengan lauk pauknya (rerasmen) dan buah buahan.
2. Canang sari / canang genten, sampiyan jaet dan penyeneng.
Untuk menanam ari-ari (mendem ari-ari) diperlukan sebuah kendil (periuk kecil) dengan tutupnya atau sebuah kelapa yang airnya dibuang. Waktu Upacara Jatakarma dilaksanakan pada waktu bayi baru dilahirkan dan telah mendapat perawatan pertama.
Tempat Upacara Jatakarma dilaksanakan di dalam dan di depan pintu rumah. Pelaksana Upacara kelahiran dilaksanakan atau dipimpin oleh salah seorang keluarga yang tertua atau dituakan, demikian juga untuk menanam (mendem) ari-arinya. Dalam hal tidak ada keluarga tertua, misalnya, hidup di rantauan, sang ayah dapat melaksanakan upacara ini.

Tata Cara upacara :
1. Bayi yang baru lahir diupacarai dengan banten dapetan, canang sari, canang genten, sampiyan dan penyeneng. Tujuannya agar atma / roh yang menjelma pada si bayi mendapatkan keselamatan.
2. Setelah ari-ari dibersihkan, selanjutnya dimasukkan ke dalam kendil lalu ditutup. Apabila mempergunakan kelapa, kelapa itu terlebih dahulu dibelah menjadi dua bagian, selanjutnya ditutup kernbali. Perlu diingat sebelum kendil atau kelapa itu digunakan, pada bagian tutup kendil atau belahan kelapa bagian atas ditulisi dengan aksara OM KARA (OM) dan pada dasar alas kendil atau bagian bawah kelapa ditulisi aksara AH KARA (AH) .
3. Kendil atau kelapa selanjutnya dibungkus dengan kain putih dan di dalamnya diberi bunga.
4. Selanjutnya kendil atau kelapa ditanam di halaman rumah, tepatnya pada bagian kanan pintu ruangan rumah untuk anak Iaki-laki, dan bagian kiri untuk wanita bila dilihat dari dalam rumah.
Upacara ini merupakan cetusan rasa bahagia dan terima kasih dari kedua orang tua atas kelahiran anaknya, walaupun disadari bahwa hal tersebut akan menambah beban baginya.

2. Makna Perkawinan dan Upacaranya

Hakekatnya adalah upacara persaksian ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa dan kepada masyarakat bahwa kedua orang yang bersangkutan telah mengikatkan diri sebagai suami-istri.

Sarana upacara:
1. Segehan cacahan warna lima.
2. Api takep (api yang dibuat dari serabut kelapa).
3. Tetabuhan (air tawar, tuak, arak).
4. Padengan-dengan/ pekala-kalaan.
5. Pejati.
6. Tikar dadakan (tikar kecil yang dibuat dari pandan).
7. Pikulan (terdiri dari cangkul, tebu, cabang kayu dadap yang ujungnya diberi periuk, bakul yang berisi uang).
8. Bakul.
9. Pepegatan terdiri dari dua buah cabang dadap yang dihubungkan dengan benang putih.
Waktu Biasanya dipilih hari yang baik, sesuai dengan persyaratannya (ala-ayuning dewasa). Tempat dapat dilakukan di rumah mempelai Iaki-laki atau wanita sesuai dengan hukum adat setempat (desa, kala, patra). Pelaksana Dipimpin oleh seorang Pendeta / Pinandita / Wasi / Pemangku.

Tata cara upacara:
1. Sebelum upacara natab banten pedengan-dengan, terlebih dahulu mempelai mabhyakala dan maprayascita.
2. Kemudian mempelai mengelilingi sanggah Kamulan dan sanggah Pesaksi sebanyak tiga kali serta dilanjutkan dengan jual beli antara mempelai Iaki-laki dengan mempelai wanita disertai pula dengan perobekan tikar dadakan oleh mempelai Iaki-laki.
3. Sebagai acara terakhir dilakukan mejaya-jaya dan diakhiri dengan natab banten dapetan. Bagi Umat Hindu upacara perkawinan mempunyai tiga arti penting yaitu :
- Sebagai upacara suci yang tujuannya untuk penyucian diri kedua calon mempelai agar mendapatkan tuntunan dalam membina rumah tangga dan nantinya agar bisa mendapatkan keturunan yang baik dapat menolong meringankan derita orang tua/leluhur.
- Sebagai persaksian secara lahir bathin dari seorang pria dan seorang wanita bahwa keduanya mengikatkan diri menjadi suami-istri dan segala perbuatannya menjadi tanggung jawab bersama.
- Penentuan status kedua mempelai, walaupun pada dasarnya Umat Hindu menganut sistim patriahat (garis Bapak) tetapi dibolehkan pula untuk mengikuti sistim patrilinier (garis Ibu). Di Bali apabila kawin mengikuti sistem patrilinier (garis Ibu) disebut kawin nyeburin atau nyentana yaitu mengikuti wanita karena wanita nantinya sebagai Kepala Keluarga.
Upacara Pernikahan ini dapat dilakukan di halaman Merajan/Sanggah Kemulan ( Tempat Suci Keluarga) dengan tata upacara yaitu kedua mempelai mengelilingi Sanggah Kemulan ( Tempat Suci Keluarga ) sampai tiga kali dan dalam perjalanan mempelai perempuan membawa sok pedagangan ( keranjang tempat dagangan) yang laki memikul tegen-tegenan (barang-barang yang dipikul) dan setiap kali melewati “Kala Sepetan”(upakara sesajen yang ditaruh di tanah) kedua mempelai menyentuhkan kakinya pada serabut kelapa belah tiga.
Setelah tiga kali berkeliling, lalu berhenti kemudian mempelai laki berbelanja sedangkan mempelai perempuan menjual segala isinya yang ada pada sok pedagangan (keranjang tempat dagangan), dilanjutkan dengan merobek tikeh dadakan (tikar yang ditaruh di atas tanah), menanam pohon kunir, pohon keladi (pohon talas) serta pohon endong dibelakang sanggar pesaksi/sanggar Kemulan (Tempat Suci Keluarga) dan diakhiri dengan melewati "Pepegatan" (Sarana Pemutusan) yang biasanya digunakan benang didorong dengan kaki kedua mempelai sampai benang tersebut putus.

3. Makna Kematian dan Upacaranya

Ngaben merupakan salah satu upacara yang dilakukan oleh Umat Hindu di Bali yang tergolong upacara Pitra Yadnya (upacara yang ditunjukkan kepada Leluhur). Ngaben secara etimologis berasal dari kata api yang mendapat awalan nga, dan akhiran an, sehingga menjadi ngapian, yang disandikan menjadi ngapen yang lama kelamaan terjadi pergeseran kata menjadi ngaben. Upacara Ngaben selalu melibatkan api, api yang digunakan ada 2, yaitu berupa api konkret (api sebenarnya) dan api abstrak (api yang berasal dari Puja Mantra Pendeta yang memimpin upacara). Versi lain mengatakan bahwa ngaben berasal dari kata beya yang artinya bekal, sehingga ngaben juga berarti upacara memberi bekal kepada Leluhur untuk perjalannya ke Sunia Loka.

Bentuk-bentuk Upacara Ngaben
1.      Ngaben Sawa Wedana, yaitu upacara ngaben dengan melibatkan jenazah yang masih
utuh (tanpa dikubur terlebih dahulu) . Biasanya upacara ini dilaksanakan dalam kurun waktu 3-7 hari terhitung dari hari meninggalnya orang tersebut. Pengecualian biasa terjadi pada upacara dengan skala Utama, yang persiapannya bisa berlangsung hingga sebulan. Sementara pihak keluarga mempersiapkan segala sesuatu untuk upacara maka jenazah akan diletakkan di balai adat yang ada di masing-masing rumah dengan pemberian ramuan tertentu untuk memperlambat pembusukan jenazah. Dewasa ini pemberian ramuan sering digantikan dengan penggunaan formalin. Selama jenazah masih ditaruh di balai adat, pihak keluarga masih memperlakukan jenazahnya seperti selayaknya masih hidup, seperti membawakan kopi, memberi makan disamping jenazah, membawakan handuk dan pakaian, dll sebab sebelum diadakan upacara yang disebut Papegatan maka yang bersangkutan dianggap hanya tidur dan masih berada dilingkungan keluarganya.
2.      Ngaben Asti Wedana, yaitu upacara ngaben yang melibatkan kerangka jenazah yang
telah pernah dikubur. Upacara ini disertai dengan upacara ngagah, yaitu upacara menggali kembali kuburan dari orang yang bersangkutan untuk kemudian mengupacarai tulang belulang yang tersisa. Hal ini dilakukan sesuai tradisi dan aturan desa setempat, misalnya ada upacara tertentu dimana masyarakat desa tidak diperkenankan melaksanakan upacara kematian dan upacara pernikahan maka jenazah akan dikuburkan di kuburan setempat yang disebut dengan upacara Makingsan ring Pertiwi ( Menitipkan di Ibu Pertiwi).
3.      Swasta, yaitu upacara ngaben tanpa memperlibatkan jenazah maupun kerangka mayat,
hal ini biasanya dilakukan karena beberapa hal, seperti : meninggal di luar negeri atau tempat jauh, jenazah tidak ditemukan, dll. Pada upacara ini jenazah biasanya disimbolkan dengan kayu cendana (pengawak) yang dilukis dan diisi aksara magis sebagai badan kasar dari atma orang yang bersangkutan.
4.      Ngelungah, yaitu adalah upacara untuk anak yang belum tanggal gigi.
5.      Warak Kruron, yaitu adalah upacara untuk bayi yang keguguran.

Tujuan Upacara Ngaben

Upacara ngaben secara konsepsional memiliki makna dan tujuan sebagai berikut :
1. Dengan membakar jenazah maupun simbolisnya kemudian menghanyutkan abu ke sungai, atau laut memiliki makna untuk melepaskan Sang Atma (roh) dari belenggu keduniawian sehingga dapat dengan mudah bersatu dengan Tuhan (Mokshatam Atmanam)
2. Membakar jenazah juga merupakan suatu rangkaian upacara untuk mengembalikan segala unsur Panca Maha Bhuta (5 unsur pembangun badan kasar manusia) kepada asalnya masing-masing agar tidak menghalangi perjalan Atma ke Sunia Loka Bagian Panca Maha Bhuta yaitu : a. Pertiwi : unsur padat yang membentuk tulang, daging, kuku, dll b. Apah: unsur cair yang membentuk darah, air liur, air mata, dll c. Bayu : unsur udara yang membentuk nafas. d. Teja : unsur panas yang membentuk suhu tubuh. e. Akasa : unsur ether yang membentuk rongga dalam tubuh.
3. Bagi pihak keluarga, upacara ini merupakan simbolisasi bahwa pihak keluarga telah ikhlas, dan merelakan kepergian yang bersangkutan.