tanpa judul

Vishnu

Jumat, 29 Mei 2015

Upacara Kelahiran, Perkawinan dan Kematian Dalam Agama Budha



A.    Makna Kelahiran dan Upacaranya

Dalam Buddhisme Theravada, ada praktek ritual tertentu diamati ketika seorang anak lahir dari orangtua Buddhis. Mereka pertama kali menempatkan anak di lantai ruang kuil atau di depan patung Buddha untuk menerima berkat-berkat dari Tiga Permata (Buddha, sangha dan dharma).

Setelah kelahiran anak, orang tua sering berkonsultasi biarawan ketika memilih nama, yang harus memuaskan, sementara bahasa menyampaikan suatu arti yang baik. Tergantung pada daerah, praktek-praktek agama lain mungkin mengikuti kelahiran. Di bagian tengah negara itu, misalnya, bayi akan memiliki lazim kepalanya dicukur ketika ia berusia satu bulan. Hal ini pada dasarnya ritus Brahminic, yang disebut upacara khwan, dapat disertai dengan upacara Budha di mana rahib membacakan ayat-ayat dari teks-teks suci.

Pentahbisan. Ritus kedua dalam rentang kehidupan manusia kebanyakan Thailand penahbisan ke dalam kap biksu. Secara tradisional, seorang pemuda yang tidak diterima secara sosial sampai ia telah menjadi seorang biarawan, dan banyak orangtua bersikeras bahwa setelah seorang anak mencapai usia dua puluh ia akan ditahbiskan sebelum menikah atau memulai karir resmi. Ada juga alasan lain untuk memasuki kap biksu, seperti untuk membuat manfaat untuk jiwa berangkat dari kerabat, atau untuk orang tuanya ketika mereka masih hidup, atau untuk membayar janji kepada Sang Buddha setelah meminta dia untuk memecahkan masalah pribadi atau keluarga.

B.     Makna Perkawinan dan Upacaranya

Perkawinan adalah perjodohan laki-laki dan perempuan menjadi suami isteri. Di dalam Tipitaka tidak banyak ditemukan uraian-uraian yang mengatur masalah perkawinan, akan tetapi dari berbagai sutta dapat diperoleh hal-hal yang sangat penting bagi suami dan isteri untuk membentuk perkawinan yang bahagia.

Walaupun di dalam agama Buddha tidak ditentukan secara tegas azas monogami yang dianut, tetapi dengan berdasar kepada Anguttara Nikaya 11.57 yaitu pernikahan yang dipuji oleh Sang Buddha adalah perkavvinan antara seorang laki-laki yang baik (dewa) dengan seorang perempuan yang baik (dewi), maka dapat disimpulkan bahwa azas perkawinan menurut agama Buddha adalah azas monogami, yaitu dalam suatu perkawinan seorang laki-laki hanya boleh mempunyai seorang isteri dan seorang perempuan hanya boleh mempunyai seorang suami.

Upacara Perkawinan

A. Tempat upacara
Upacara perkawinan menurut tatacara agama Buddha dapat dilangsungkan di vihara,
cetiya atau di rumah salah satu mempelai yang memenuhi syarat untuk pelaksanaan
upacara perkawinan.

B. perlengkapan atau peralatan upacara
  1. Altar dimana terdapat Buddharupang.
  2. Lilin lima warna (biru, kuning, merah, putih, jingga)
  3. Tempat dupa
  4. Dupa wangi 9 batang
  5. Gelas/mangkuk kecil berisi air putih dengan bunga (untuk dipercikkan)
  6. Dua vas bunga dan dua piring buah-buahan untuk dipersembahkan oleh kedua mempelai
  7. Cincin kawin
  8. Kain kuning berukuran 90 X 125 cm2
  9. Pita kuning sepanjang 100 cm
  10. Tempat duduk (bantal) untuk pandita, kedua mempelai, dan bhikkhu (apabila hadir)
  11. Surat ikrar perkawinan
  12. Persembahan dana untuk bhikkhu (apabila hadir), dapat berupa bunga, lilin, dupa dan lain-lain.
C.Pelaksanaan upacara
  1. Pandita dan pembantu pandita sudah siap di tempat upacara.
  2. Kedua mempelai memasuki ruangan upacara dan berdiri di depan altar.
  3. Pandita menanyakan kepada kedua mempelai, apakah ada ancaman atau paksaan yang mengharuskan mereka melakukan upacara perkawinan menurut tatacara agama Buddha, apabila tidak ada maka acara dapat dilanjutkan.
  4. Penyalaan lilin lima warna oleh pandita dan orang tua dari kedua mempelai.
  5. Persembahan bunga dan buah oleh kedua mempelai.
  6. Pandita mempersembahkan tiga batang dupa dan memimpin namaskara
  7. Pernyataan ikrar perkawinan
  8. Pemasangan cincin kawin.
  9. Pengikatan pita kuning dan pemakaian kain kuning.
  10. Pemercikan air pemberkahan oleh orang tua dari kedua mempelai dan pandita.
  11. Pembukaan pita kuning dan kain kuning.
  12. Wejangan oleh pandita.
  13. Penandatanganan Surat lkrar Perkawinan.
  14. Namaskara penutup dipimpin oleh pandita.
Menurut Peraturan Pemerintah R.I. Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Bab III pasal 3 maka perkawinan (menurut tatacara agama Buddha) dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi (yang dimaksud dengan Pegawai Pencatat adalah pegawai pencatat perkawinan dan perceraian atau pegawai catatan sipil).

Apabila upacara perkawinan tidak dihadiri oleh Pegawai Pencatat, maka Pegawai Pencatat dapat diwakili oleh Pembantu Pegawai Pencatat Perkawinan (Buddhis) yang diangkat oleh Gubernur setempat.
Apabila upacara perkawinan tidak dihadiri oleh Pegawai Pencatat maupun Pembantu Pegawai Pencatat Perkawinan (Buddhis), maka pandita yang memimpin upacara perkawinan mengeluarkan Surat Keterangan Perkawinan yang berlaku sebagai bukti bahwa upacara perkawinan menurut tatacara agama Buddha telah dilaksanakan, surat tersebut bersama-sama dengan dokumen pendukung linnya dibawa ke Kantor Catatan Sipil untuk dicatatkan.

C.    Makna Kematian dan Upacaranya

Agama Buddha mengajarkan, bahwa kematian bukanlah akhir dari segalanya. Kematian hanyalah satu fase peralihan antara hidup yang sekarang dengan kehidupan dialam tumimbal lahir yang baru.

Bagi mereka yang sewaktu msih hidup rajin berlatih membina diri, menghayati dan melaksanakan ajaran Hyang Buddha. Maka dia akan mengetahui kapan saat ajalnya tiba, bahkan ada yang mengetahui jauh sebelum waktunya, bisa beberapa : tahun; bulan; minggu; atau 1-2 hari sebelumnya tergantung dari ketakutan dan kemantapannya  di dalam menghayati Buddhi Darma. Sehingga menjelang saatnya tiba, dia dapat melakukan persiapan seperlunya, yaitu membersihkan diri dan menukar pakaian, lalu bermeditasi sambil menyebut Namo Amhitabha Buddha. 

Proses tumimbal lahir
Budha menjelaskan peroses tumimbal-lahir  sebagai sebab-musabab yang saling bergantungan. Proses ini terutama berhubungan dengan bagai mana mengatasi penderitaan hidup yang berulang-ulang tanpa mempedulikan teka-teki asa mula kehidupan yang pertama.tiada sesuatu yang muncul dari ketidak adaan. Tiada sesuatu atau makhluk yang mncul tanpa ada sebab terlebih dahulu. Segala sesuatu tergantung pada kejadian yang mendahului atau mengkondisikannya, yang disebut sebab.

Kelompok yang tidak tumibal lahir:
1.  Alam Buddha
2. Alam Bodhisattva
3. Alam Pratyeka Buddha
4. Alam Arhat
Kelompok yang masih tumimbal lahir :
1. Alam Dewa
2. Alam Manusia
3. Alam Asura
4. Alam Binatang
5. Alam Setan Gentayangan
6. Alam Neraka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar