A.
Makna Kelahiran dan Upacaranya
Dalam Buddhisme Theravada, ada praktek ritual tertentu
diamati ketika seorang anak lahir dari orangtua Buddhis. Mereka pertama kali
menempatkan anak di lantai ruang kuil atau di depan patung Buddha untuk
menerima berkat-berkat dari Tiga Permata (Buddha, sangha dan dharma).
Setelah kelahiran
anak, orang tua sering berkonsultasi biarawan ketika memilih nama, yang harus
memuaskan, sementara bahasa menyampaikan suatu arti yang baik. Tergantung pada daerah,
praktek-praktek agama lain mungkin mengikuti kelahiran. Di bagian tengah
negara itu, misalnya, bayi akan memiliki lazim kepalanya dicukur ketika ia
berusia satu bulan. Hal ini pada dasarnya ritus Brahminic, yang disebut
upacara khwan, dapat disertai dengan upacara Budha di mana rahib membacakan
ayat-ayat dari teks-teks suci.
Pentahbisan. Ritus kedua dalam rentang
kehidupan manusia kebanyakan Thailand penahbisan ke dalam kap biksu. Secara tradisional,
seorang pemuda yang tidak diterima secara sosial sampai ia telah menjadi
seorang biarawan, dan banyak orangtua bersikeras bahwa setelah seorang anak
mencapai usia dua
puluh ia akan ditahbiskan sebelum menikah atau memulai karir resmi. Ada
juga alasan lain untuk memasuki kap
biksu, seperti untuk membuat manfaat untuk jiwa berangkat dari
kerabat, atau untuk orang tuanya ketika mereka masih hidup, atau untuk membayar
janji kepada Sang Buddha setelah meminta dia untuk memecahkan masalah pribadi atau keluarga.
B.
Makna Perkawinan dan Upacaranya
Perkawinan adalah perjodohan laki-laki dan perempuan menjadi
suami isteri. Di dalam Tipitaka tidak banyak ditemukan uraian-uraian yang
mengatur masalah perkawinan, akan tetapi dari berbagai sutta dapat diperoleh
hal-hal yang sangat penting bagi suami dan isteri untuk membentuk perkawinan
yang bahagia.
Walaupun di dalam agama Buddha tidak ditentukan secara tegas
azas monogami yang dianut, tetapi dengan berdasar kepada Anguttara Nikaya 11.57
yaitu pernikahan yang dipuji oleh Sang Buddha adalah perkavvinan antara seorang
laki-laki yang baik (dewa) dengan seorang perempuan yang baik (dewi),
maka dapat disimpulkan bahwa azas perkawinan menurut agama Buddha adalah azas
monogami, yaitu dalam suatu perkawinan seorang laki-laki hanya boleh mempunyai
seorang isteri dan seorang perempuan hanya boleh mempunyai seorang suami.
Upacara
Perkawinan
A.
Tempat upacara
Upacara perkawinan menurut tatacara agama Buddha dapat dilangsungkan
di vihara,
cetiya atau di rumah salah satu mempelai yang memenuhi syarat untuk pelaksanaan
upacara perkawinan.
cetiya atau di rumah salah satu mempelai yang memenuhi syarat untuk pelaksanaan
upacara perkawinan.
B.
perlengkapan atau peralatan upacara
- Altar dimana terdapat Buddharupang.
- Lilin lima warna (biru, kuning, merah, putih, jingga)
- Tempat dupa
- Dupa wangi 9 batang
- Gelas/mangkuk kecil berisi air putih dengan bunga (untuk dipercikkan)
- Dua vas bunga dan dua piring buah-buahan untuk dipersembahkan oleh kedua mempelai
- Cincin kawin
- Kain kuning berukuran 90 X 125 cm2
- Pita kuning sepanjang 100 cm
- Tempat duduk (bantal) untuk pandita, kedua mempelai, dan bhikkhu (apabila hadir)
- Surat ikrar perkawinan
- Persembahan dana untuk bhikkhu (apabila hadir), dapat berupa bunga, lilin, dupa dan lain-lain.
C.Pelaksanaan
upacara
- Pandita dan pembantu pandita sudah siap di tempat upacara.
- Kedua mempelai memasuki ruangan upacara dan berdiri di depan altar.
- Pandita menanyakan kepada kedua mempelai, apakah ada ancaman atau paksaan yang mengharuskan mereka melakukan upacara perkawinan menurut tatacara agama Buddha, apabila tidak ada maka acara dapat dilanjutkan.
- Penyalaan lilin lima warna oleh pandita dan orang tua dari kedua mempelai.
- Persembahan bunga dan buah oleh kedua mempelai.
- Pandita mempersembahkan tiga batang dupa dan memimpin namaskara
- Pernyataan ikrar perkawinan
- Pemasangan cincin kawin.
- Pengikatan pita kuning dan pemakaian kain kuning.
- Pemercikan air pemberkahan oleh orang tua dari kedua mempelai dan pandita.
- Pembukaan pita kuning dan kain kuning.
- Wejangan oleh pandita.
- Penandatanganan Surat lkrar Perkawinan.
- Namaskara penutup dipimpin oleh pandita.
Menurut
Peraturan Pemerintah R.I. Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Bab III pasal 3 maka perkawinan (menurut
tatacara agama Buddha) dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri
oleh dua orang saksi (yang dimaksud dengan Pegawai Pencatat adalah pegawai
pencatat perkawinan dan perceraian atau pegawai catatan sipil).
Apabila upacara perkawinan tidak dihadiri oleh Pegawai
Pencatat, maka Pegawai Pencatat dapat diwakili oleh Pembantu Pegawai Pencatat
Perkawinan (Buddhis) yang diangkat oleh Gubernur setempat.
Apabila upacara perkawinan tidak dihadiri oleh Pegawai
Pencatat maupun Pembantu Pegawai Pencatat Perkawinan (Buddhis), maka pandita
yang memimpin upacara perkawinan mengeluarkan Surat Keterangan Perkawinan yang
berlaku sebagai bukti bahwa upacara perkawinan menurut tatacara agama Buddha
telah dilaksanakan, surat tersebut bersama-sama dengan dokumen pendukung linnya
dibawa ke Kantor Catatan Sipil untuk dicatatkan.
C.
Makna Kematian dan Upacaranya
Agama Buddha mengajarkan, bahwa kematian bukanlah akhir dari
segalanya. Kematian hanyalah satu fase peralihan antara hidup yang sekarang
dengan kehidupan dialam tumimbal lahir yang baru.
Bagi mereka yang sewaktu msih hidup rajin berlatih membina
diri, menghayati dan melaksanakan ajaran Hyang Buddha. Maka dia akan mengetahui
kapan saat ajalnya tiba, bahkan ada yang mengetahui jauh sebelum waktunya, bisa
beberapa : tahun; bulan; minggu; atau 1-2 hari sebelumnya tergantung dari
ketakutan dan kemantapannya di dalam
menghayati Buddhi Darma. Sehingga menjelang saatnya tiba, dia dapat melakukan
persiapan seperlunya, yaitu membersihkan diri dan menukar pakaian, lalu
bermeditasi sambil menyebut Namo Amhitabha Buddha.
Proses tumimbal lahir
Budha menjelaskan peroses tumimbal-lahir
sebagai sebab-musabab yang saling bergantungan. Proses ini terutama
berhubungan dengan bagai mana mengatasi penderitaan hidup yang berulang-ulang
tanpa mempedulikan teka-teki asa mula kehidupan yang pertama.tiada sesuatu
yang muncul dari ketidak adaan. Tiada sesuatu atau makhluk yang mncul tanpa ada
sebab terlebih dahulu. Segala sesuatu tergantung pada kejadian yang mendahului
atau mengkondisikannya, yang disebut sebab.
Kelompok yang tidak tumibal lahir:
1. Alam Buddha
2. Alam Bodhisattva
3. Alam Pratyeka Buddha
4. Alam Arhat
Kelompok yang masih tumimbal lahir :
1.
Alam Dewa
2. Alam Manusia
3. Alam Asura
4. Alam Binatang
5. Alam Setan Gentayangan
6. Alam Neraka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar