1.
Makna Kelahiran dan Upacaranya
Upacara manusa yadnya erat sekali hubungannya dengan Catur
Purusa Arta yang artinya empat tingkatan atau jenjang dalam
menjalani hidup ini. Bagian dari catur purusa arta adalah brahmacari, grehasta, wanaprasta,
dan bhiksuka. Dalam Jenjang-jenjang hidup inilah kita akan
mengalami yang disebut manusia dalam agama tadi.
Upacara ini dilaksanakan pada waktu bayi baru dilahirkan.
Upacara ini adalah sebagai ungkapan kebahagiaan atas kehadiran si kecil di
dunia.
Sarana upacara :
1.
Dapetan, terdiri dari nasi berbentuk tumpeng dengan lauk pauknya (rerasmen) dan
buah buahan.
2.
Canang sari / canang genten, sampiyan jaet dan penyeneng.
Untuk
menanam ari-ari (mendem ari-ari) diperlukan sebuah kendil (periuk kecil) dengan
tutupnya atau sebuah kelapa yang airnya dibuang. Waktu Upacara Jatakarma
dilaksanakan pada waktu bayi baru dilahirkan dan telah mendapat perawatan
pertama.
Tempat
Upacara Jatakarma dilaksanakan di dalam dan di depan pintu rumah. Pelaksana
Upacara kelahiran dilaksanakan atau dipimpin oleh salah seorang keluarga yang tertua
atau dituakan, demikian juga untuk menanam (mendem) ari-arinya. Dalam hal tidak
ada keluarga tertua, misalnya, hidup di rantauan, sang ayah dapat melaksanakan
upacara ini.
Tata Cara upacara :
1.
Bayi yang baru lahir diupacarai dengan banten dapetan, canang sari, canang
genten, sampiyan dan penyeneng. Tujuannya agar atma / roh yang menjelma pada si
bayi mendapatkan keselamatan.
2.
Setelah ari-ari dibersihkan, selanjutnya dimasukkan ke dalam kendil lalu
ditutup. Apabila mempergunakan kelapa, kelapa itu terlebih dahulu dibelah
menjadi dua bagian, selanjutnya ditutup kernbali. Perlu diingat sebelum kendil
atau kelapa itu digunakan, pada bagian tutup kendil atau belahan kelapa bagian
atas ditulisi dengan aksara OM
KARA (OM) dan pada dasar alas kendil atau bagian bawah kelapa
ditulisi aksara AH KARA (AH) .
3.
Kendil atau kelapa selanjutnya dibungkus dengan kain putih dan di dalamnya
diberi bunga.
4.
Selanjutnya kendil atau kelapa ditanam di halaman rumah, tepatnya pada bagian
kanan pintu ruangan rumah untuk anak Iaki-laki, dan bagian kiri untuk wanita
bila dilihat dari dalam rumah.
Upacara
ini merupakan cetusan rasa bahagia dan terima kasih dari kedua orang tua atas
kelahiran anaknya, walaupun disadari bahwa hal tersebut akan menambah beban
baginya.
2.
Makna Perkawinan dan Upacaranya
Hakekatnya adalah upacara persaksian ke hadapan Tuhan Yang
Maha Esa dan kepada masyarakat bahwa kedua orang yang bersangkutan telah
mengikatkan diri sebagai suami-istri.
Sarana upacara:
1. Segehan cacahan warna lima.
2. Api takep (api yang dibuat dari serabut kelapa).
3. Tetabuhan (air tawar, tuak, arak).
4. Padengan-dengan/ pekala-kalaan.
5. Pejati.
6. Tikar dadakan (tikar kecil yang dibuat dari pandan).
7. Pikulan (terdiri dari cangkul, tebu, cabang kayu dadap
yang ujungnya diberi periuk, bakul yang berisi uang).
8. Bakul.
9. Pepegatan terdiri dari dua buah cabang dadap yang
dihubungkan dengan benang putih.
Waktu Biasanya dipilih hari yang baik, sesuai dengan
persyaratannya (ala-ayuning dewasa). Tempat dapat dilakukan di rumah mempelai
Iaki-laki atau wanita sesuai dengan hukum adat setempat (desa, kala, patra).
Pelaksana Dipimpin oleh seorang Pendeta / Pinandita / Wasi / Pemangku.
Tata cara upacara:
1. Sebelum upacara natab banten pedengan-dengan, terlebih
dahulu mempelai mabhyakala dan maprayascita.
2. Kemudian mempelai mengelilingi sanggah Kamulan dan
sanggah Pesaksi sebanyak tiga kali serta dilanjutkan dengan jual beli antara
mempelai Iaki-laki dengan mempelai wanita disertai pula dengan perobekan tikar
dadakan oleh mempelai Iaki-laki.
3. Sebagai acara terakhir dilakukan mejaya-jaya dan diakhiri
dengan natab banten dapetan. Bagi Umat Hindu upacara perkawinan mempunyai tiga
arti penting yaitu :
- Sebagai upacara suci yang tujuannya untuk penyucian diri
kedua calon mempelai agar mendapatkan tuntunan dalam membina rumah tangga dan
nantinya agar bisa mendapatkan keturunan yang baik dapat menolong meringankan
derita orang tua/leluhur.
- Sebagai persaksian secara lahir bathin dari seorang pria
dan seorang wanita bahwa keduanya mengikatkan diri menjadi suami-istri dan
segala perbuatannya menjadi tanggung jawab bersama.
- Penentuan status kedua mempelai, walaupun pada dasarnya
Umat Hindu menganut sistim patriahat (garis Bapak) tetapi dibolehkan pula untuk
mengikuti sistim patrilinier (garis Ibu). Di Bali apabila kawin mengikuti
sistem patrilinier (garis Ibu) disebut kawin nyeburin atau nyentana yaitu
mengikuti wanita karena wanita nantinya sebagai Kepala Keluarga.
Upacara Pernikahan ini dapat dilakukan di halaman
Merajan/Sanggah Kemulan ( Tempat Suci Keluarga) dengan tata upacara yaitu kedua
mempelai mengelilingi Sanggah Kemulan ( Tempat Suci Keluarga ) sampai tiga kali
dan dalam perjalanan mempelai perempuan membawa sok pedagangan ( keranjang
tempat dagangan) yang laki memikul tegen-tegenan (barang-barang yang dipikul) dan
setiap kali melewati “Kala Sepetan”(upakara sesajen yang ditaruh di tanah)
kedua mempelai menyentuhkan kakinya pada serabut kelapa belah tiga.
Setelah tiga kali berkeliling, lalu berhenti kemudian
mempelai laki berbelanja sedangkan mempelai perempuan menjual segala isinya
yang ada pada sok pedagangan (keranjang tempat dagangan), dilanjutkan dengan
merobek tikeh dadakan (tikar yang ditaruh di atas tanah), menanam pohon kunir,
pohon keladi (pohon talas) serta pohon endong dibelakang sanggar pesaksi/sanggar
Kemulan (Tempat Suci Keluarga) dan diakhiri dengan melewati
"Pepegatan" (Sarana Pemutusan) yang biasanya digunakan benang
didorong dengan kaki kedua mempelai sampai benang tersebut putus.
3. Makna Kematian dan
Upacaranya
Ngaben merupakan salah
satu upacara yang dilakukan oleh Umat Hindu di Bali yang tergolong upacara
Pitra Yadnya (upacara yang ditunjukkan kepada Leluhur). Ngaben secara
etimologis berasal dari kata api yang mendapat awalan nga, dan akhiran an, sehingga
menjadi ngapian, yang disandikan menjadi ngapen yang lama kelamaan terjadi
pergeseran kata menjadi ngaben. Upacara Ngaben selalu melibatkan api, api yang
digunakan ada 2, yaitu berupa api konkret (api sebenarnya) dan api abstrak (api
yang berasal dari Puja Mantra Pendeta yang memimpin upacara). Versi lain
mengatakan bahwa ngaben berasal dari kata beya yang artinya bekal, sehingga
ngaben juga berarti upacara memberi bekal kepada Leluhur untuk perjalannya
ke Sunia Loka.
Bentuk-bentuk Upacara Ngaben
1. Ngaben Sawa
Wedana,
yaitu upacara ngaben dengan melibatkan jenazah yang
masih
utuh (tanpa dikubur
terlebih dahulu) . Biasanya upacara ini dilaksanakan dalam kurun waktu 3-7 hari
terhitung dari hari meninggalnya orang tersebut. Pengecualian biasa terjadi
pada upacara dengan skala Utama, yang persiapannya bisa berlangsung hingga
sebulan. Sementara pihak keluarga mempersiapkan segala sesuatu untuk upacara
maka jenazah akan diletakkan di balai adat yang ada di masing-masing rumah
dengan pemberian ramuan tertentu untuk memperlambat pembusukan jenazah. Dewasa
ini pemberian ramuan sering digantikan dengan penggunaan formalin. Selama
jenazah masih ditaruh di balai adat, pihak keluarga masih memperlakukan
jenazahnya seperti selayaknya masih hidup, seperti membawakan kopi, memberi
makan disamping jenazah, membawakan handuk dan pakaian, dll sebab sebelum
diadakan upacara yang disebut Papegatan maka yang bersangkutan dianggap hanya
tidur dan masih berada dilingkungan keluarganya.
2. Ngaben Asti
Wedana,
yaitu upacara ngaben yang melibatkan kerangka
jenazah yang
telah pernah dikubur.
Upacara ini disertai dengan upacara ngagah, yaitu upacara menggali kembali
kuburan dari orang yang bersangkutan untuk kemudian mengupacarai tulang
belulang yang tersisa. Hal ini dilakukan sesuai tradisi dan aturan desa
setempat, misalnya ada upacara tertentu dimana masyarakat desa tidak
diperkenankan melaksanakan upacara kematian dan upacara pernikahan maka jenazah
akan dikuburkan di kuburan setempat yang disebut dengan upacara Makingsan ring
Pertiwi ( Menitipkan di Ibu Pertiwi).
3. Swasta, yaitu
upacara ngaben tanpa memperlibatkan jenazah maupun kerangka mayat,
hal ini biasanya
dilakukan karena beberapa hal, seperti : meninggal di luar negeri atau
tempat jauh, jenazah tidak ditemukan, dll. Pada upacara ini jenazah biasanya
disimbolkan dengan kayu cendana (pengawak) yang dilukis dan diisi aksara magis
sebagai badan kasar dari atma orang yang bersangkutan.
4. Ngelungah, yaitu adalah
upacara untuk anak yang belum tanggal gigi.
5. Warak Kruron, yaitu
adalah upacara untuk bayi yang keguguran.
Tujuan Upacara Ngaben
Upacara ngaben secara konsepsional memiliki
makna dan tujuan sebagai berikut :
1. Dengan membakar jenazah maupun simbolisnya
kemudian menghanyutkan abu ke sungai, atau laut memiliki makna untuk melepaskan
Sang Atma (roh) dari belenggu keduniawian sehingga dapat dengan mudah bersatu
dengan Tuhan (Mokshatam Atmanam)
2. Membakar jenazah juga merupakan suatu
rangkaian upacara untuk mengembalikan segala unsur Panca Maha Bhuta (5 unsur
pembangun badan kasar manusia) kepada asalnya masing-masing agar tidak
menghalangi perjalan Atma ke Sunia Loka Bagian Panca Maha Bhuta yaitu : a.
Pertiwi : unsur padat yang membentuk tulang, daging, kuku, dll b. Apah:
unsur cair yang membentuk darah, air liur, air mata, dll c. Bayu : unsur
udara yang membentuk nafas. d. Teja : unsur panas yang membentuk suhu
tubuh. e. Akasa : unsur ether yang membentuk rongga dalam tubuh.
3. Bagi pihak keluarga, upacara ini merupakan
simbolisasi bahwa pihak keluarga telah ikhlas, dan merelakan kepergian yang
bersangkutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar