tanpa judul

Vishnu

Minggu, 03 Mei 2015

Ajaran Budha Dharma Tentang Etika (Sila)



A.   Pengertian Sila

Sila berasal dari bahasa Sansekerta dan bahasa Pali. Kata sila yang digunakan oleh umat Budha, menurut Verkuyl, mempunyai banyak arti. Sila dapat berarti norma (kaidah), peraturan, perilaku, sopan santun dan sebagainya. Jadi sila merupakan perbuatan lahiriah, seperti ucapan dan perbuatan badan jasmani.

Sila juga sebagai dasar dari jalan utama, yang merupakan sikap batin yang keluar dalam bentuk ucapan, perbuatan dan pencaharian yang benar sebagai perwujudannya. Atas dasar itu, hal yang sangat penting dalam sila adalah sikap batin seseorang dan bukan terlihat dari ucapannya.

Pelaksanaan sila dalam agama Budha merupakan suatu kebijakan moral, etika atau tata tertib dalam menjalani kehidupan kita sebagai manusia sehingga mampu bertingkah laku secara baik dan benar bagi diri sendiri, orang lain, bahkan seluruh alam semesta beserta isinya. Kebajikan moral dapat dianggap sebagai suatu dasar yang membentuk semua hal-hal yang positif dalam kehidupan saat ini. Sang Buddha pernah bersabda: “Kebijakan moral adalah dasar, sebagai pendahulu dan pembentuk dari semua yang indah. Oleh karena itu, hendaklah orang menyempurnakan kebijakan moral (sila)”. (Theragatha,612).

B.     Macam-Macam Sila

a.       Panca Sila

Terdiri dari lima sila yang dilaksanakan oleh umat Buddha biasa dalam kehidupan sehari-hari, yaitu tidak akan menganiaya atau membunuh; tidak akan mengambil dan memiliki sesuatu yang tidak atas pemberian atau bukan untuknya; akan hidup bersusila; tidak berlaku serong dan zina, tidak berdusta, menipu atau memfitnah; dan menjauhi percakapan-percakapan yang tidak berguna atau harus berkata benar.
b.      Hasta Sila atau delapan janji

Adalah janji para umat awam untuk menjauhi delapan perbuatan yang terlarang, yaitu
1.      Tidak akan menganiaya atau membunuh
2.      Tidak akan mengambil atau memiliki sesuatu yang tidak atas pemberian atau bukan haknya.
3.      Tidak akan berzina.
4.      Tidak berdusta, menipu maupun memfitnah dan menjauhi percakapan-percakapan yang tidak berguna.
5.      Menjauhi segala macam minuman keras maupun makanan yang dapat merusakkan kesadaran dan memabokkan.
6.      Tidak akan makan setelah jam 12
7.      Tidak menari, menyanyi, bermain music, melihat pertunjukan, tidak memakai wangi-wangian, perhiasan dan sebagainya
8.      Tidak akan memakai tempat duduk dan tempat tidur yang tinggi dan mewah.

c.       Majjhima Sila atau Dasa Sila

Yaitu sepuluh janji atau janji bagi para Bhikhu dan Samanera, adalah janji untuk tidak melaksanakan perbuatan yang terdapat dalam Atthanga sila sampai nomor enam, sedang nomor tujuh dipecah menjadi dua sehingga urutannya adalah: (7) tidak akan menari, menyanyi, bermain music dan melihat pertunjukan hanya untuk memuaskan indra saja; (8) tidak akan memakai wangi-wangian, bunga-bungaan, minyak rambut dan perhiasan bersolek lainnya; (9) tidak akan memakai tempat duduk dan tempat tidur yang tinggi dan mewah; dan (10) tidak akan menerima emas dan perak untuk dimiliki.

d.      Patimokha Sila

Yaitu sila utama dan merupakan sila yang paling tinggi yang dilakukan oleh para Bhikkhu atau Bhikkhuni yang telah menerima penahbisan (Upasampada), berupa 227 peraturan dalam kehidupan sehari-hari.
Sila terdiri dari lima aturan pokok yaitu:
1. Dengan mengetahui betapa dalamnya hidup kita saling terkait, saya berusaha berlatih melindungi kehidupan.
2. Dengan mengetahui betapa dalamnya hidup kita saling terkait, saya berusaha berlatih hanya mengambil apa yang diberikan pada saya tanpa pamrih.
3. Dengan mengetahui betapa dalamnya hidup kita saling terkait, saya berusaha berlatih menjaga hubungan dan menghindari perilaku seksual yang keliru.
4. Dengan mengetahui betapa dalamnya hidup kita saling terkait, saya berusaha berlatih berbicara baik dan jujur.
5. Dengan mengetahui betapa dalamnya hidup kita saling terkait, saya berusaha berlatih melindungi kejernihan pikiran dengan menghindari hal-hal yang membuat kecanduan.

C.   Catur Paramitha dan Catur Mara

Catur paramita adalah 4 (empat) sifat-sifat luhur atau sifat ketuhanan yang kita miliki, sedangkan catur mara adalah 4 (empat) sifat-sifat jahat yang harus kita musnahkan. Jadi, di dalam diri kita terdapat 2 (dua) sifat yang selalu bertentangan yaitu catur paramita dan catur mara. Catur paramita apabila dilaksanakan dengan baik akan mengantarkan kita untuk memasuki kehidupan yang penuh dengan kebahagiaan, aman dan sejahtera. Sebaliknya, catur mara apabila kita lakukan akan menjerumuskan kita ke dalam kehidupan yang sengsara dan hina.

Di dalam diri setiap manusia terdapat sifat-sifat ketuhanan yang disebut Paramita yaitu di dalam batinnya merupakan sumber dari segala perbuatan baik (Kusalakamma) yang tercetus pada pikiran, ucapan dan badan. Karena itu kita harus dapat mengembangkan paramita itu, demi kebahagiaan, ketenangan dan kegembiraan bagi hidup kita. Catur paramita artinya empat sifat ketuhanan. Sifat ketuhanan itu terdiri dari:

Metta              : ialah cinta kasih universil yang menjadi akar dari perbuatan baik (Kusala-kamma). Bila ini berkembang Dosa akan tertekan.
Karuna           : ialah kasih sayang universil karena melihat suatu kesengsaraan, yang menjadi akar dari perbuatan baik (Kusalakamma). Bila ini berkembang Lobha akan tertekan.
Mudhita         : ialah perasaan bahagia (Simpati) universal karena melihat makhluk lain bergembira, yang menjadi akar dari perbuatan baik (Kusalakamma). Bila ini berkembang Issa akan tertekan.
Upekha           : ialah keseimbangan bathin universal sebagai hasil dari melaksanakan metta, karuna, mudita dan upekha, juga merupakan akar dari perbuatan baik (Kusalakamma). Bila ini telah berkembang Moha akan tertekan, bahkan akan lenyap.  Inilah yang disebut catur paramita.

Disamping adanya sifat-sifat ketuhanan, terdapat pula sifat-sifat setan/jahat (Mara) dalam batin manusia dan ini merupakan sumber dari segala perbuatan buruk (Akusalakamma) yang tercetus pada pikiran, ucapan dan badan. Karena itu kita harus dapat melenyapkannya agar hidup kita tidak terus-menerus didalam kesengsaraan dan penderitaan yang tiada henti-hentinya. Catur mara artinya empat sifat setan/jahat. Sifat setan/jahat ini yang terdiri dari:

Dosa                : ialah kebencian yang menjadi akar dari perbuatan jahat (Akusalakamma) dan akan lenyap bila dikembangkannya Metta. Dosa ini sacara ethica (ajaran tentang keluhuran budi dan peraturan kesopanan) berarti kebencian, tetapi secara psychologis (kejiwaan) berarti pukulan yang berat dari pikiran terhadap objek yang bertentangan. Mengenai ini terdapat dua macam nama yaitu:
1.      Patigha: jijik atau tidak senang.
2.      Vyapada: kemauan jahat.
Lobha             : ialah serakah yang menjadi akar dari perbuatan jahat (Akusalakamma) dan akan lenyap bila dikembangkannya Karuna. Lobha ini secara ethica berarti keserakahan/ketamakan, tetapi secara psychologis berarti terikat pikiran pada objek-objek. Inilah yang kadang-kadang disebut tanha yaitu keinginan yang tiada hentinya, kadang juga disebut Abhijjha (mempunyai napsu serakah dan kadang-kadang disebut juga Kama (napsu birahi serta raga (hawa napsu).
Issa                  : ialah irihati yaitu perasaan tidak senang melihat makhluk lain berbahagia, yang menjadi akar dari perbuatan jahat (Akusalakamma) dan akan lenyap bila dikembangkannya Mudita.
Moha              : ialah kegelisahan bathin sebagai akibat dari perbuatan dosa, lobha dan issa, akan lenyap bila dikembangkannya Upekkha. Moha berarti kebodohan dan kurangnya pengertian. Selain daripada itu moha juga disebut Avijja (ketidaktahuan) atau Annana (tidak berpengetahuan) atau Adassana (tidak melihat).  Inilah yang disebut catur mara.

Perbuatan jahat akan mengarahkan kita ke tiga jalan kehidupan, yaitu:

1.      Neraka atau Niraya: yang sebagian besar disebabkan oleh seseorang yang banyak dosanya dan ia akan hidup di alam ini setelah kematiannya dari alam manusia. Sebagaimana disebutkan dalam bahasa Pali, yang artinya: “Semua makhluk sebagian besar terlahir di alam neraka (Niraya) disebabkan dengan kekuatan dosa”.
2.      Binatang atau Tiracchana: yang sebagian besar disebabkan oleh seseorang yang banyak mohanya dan ia akan hidup di alam ini setelah kematiannya dari alam manusia. Sebagaimana disebutkan dalam bahasa Pali, yang artinya: “Semua makhluk sebagian besar terlahir di alam binatang (tiracchana) disebabkan dengan kekuatan moha”.
3.      Setan atau Peta: yang sebagian besar disebabkan oleh seseorang yang banyak lobhanya dan ia akan hidup di alam ini setelah kematiannya dari alam manusia. Sebagaimana disebutkan dalam bahasa Pali yang artinya: “Semua makhluk sebagian besar terlahir di alam setan (peta) dan raksasa (asura) disebabkan dengan kekuatan lobha”.

Sedangkan, perbuatan baik akan mengarahkan kita ke tiga jalan kehidupan, yaitu:

1.      Alam Dewa: yang sebagian besar disebabkan oleh seseorang yang banyak melakukan maha kusala citta serta hiri dan ottappa, seperti berdana, mendengarkan dhamma, belajar dhamma, mengajarkan dhamma, menterjemahkan buku-buku dhamma untuk disebarluaskan, membangun vihara, membangun rumah sakit, membangun sekolah dan lain sebagainya.
2.      Alam Brahma: yang disebabkan oleh seseorang yang banyak sekali melaksanakan samatha bhavana sehingga diperolehnya Jhana. Jhana berarti kesadaran/pikiran yang melekat kuat dalam objek kammatthana (meditasi), yaitu kesadaran/pikiran terkonsentrasi pada objek dengan kekuatan appana-samadhi (konsentrasi yang pandai, yaitu kesadaran/pikiran terpusat pada objek dengan kuat).
3.      Nibbana/Nirvana: yang sebagian besar disebabkan oleh seseorang melaksanakan vipassana bhavana sehingga menjadi arahat. Arahat berarti orang suci tingkat keempat yang telah terbebas dari kelahiran dan kematian atau telah bersatu dengan sang hyang adi Buddha.

D.    Hubungan Sila Dengan Catur Paramitha

Sila dapat dilaksanakan dengan baik, bilamana pikiran penuh dengan catur paramita. Menurut ajaran agama budha, untuk memperoleh kesempurnaan, ada dua macam sifat luhur yang harus dikembangkan berbarengan, yaitu:
1.      Metta dan Karuna (cinta kasih dan kasih sayang)
2.      Panna (kebijaksanaan)

Di dalam metta dan karuna adalah termasuk cinta kasih, suka bermurah hati, ramah tamah, toleransi dan sifat-sifat luhur lainnya dari segi emosi (perasaan) atau sifat-sifat yang timbul dari “hati”, sedangkan panna berhubungan dengan intelek (kecerdasan) atau sifat-sifat yang timbul dari pemikiran.

Kalau orang hanya mengembangkan diri dari segi emosinya saja dengan mengabaikan segi inteleknya, maka orang ini kelak akan menjadi “orang edan/gila yang baik hati” sebaliknya, kalau orang hanya mengembangkan dari segi inteleknya saja dengan mengabaikan segi emosinya, maka orang ini akan menajdi “orang yang berhati batu” dan tidak mempunyai perasaan sedikitpun terhadap orang lain. Oleh karena itu, untuk menjadi sempurna, orang harus mengembangkan sifat-sifat tersebut diatas tadi secara berbarengan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar