A. Pengertian
Sila
Sila
berasal dari bahasa Sansekerta dan bahasa Pali. Kata sila yang digunakan oleh
umat Budha, menurut Verkuyl, mempunyai banyak arti. Sila dapat berarti norma
(kaidah), peraturan, perilaku, sopan santun dan sebagainya. Jadi sila merupakan
perbuatan lahiriah, seperti ucapan dan perbuatan badan jasmani.
Sila
juga sebagai dasar dari jalan utama, yang merupakan sikap batin yang keluar
dalam bentuk ucapan, perbuatan dan pencaharian yang benar sebagai perwujudannya.
Atas dasar itu, hal yang sangat penting dalam sila adalah sikap batin seseorang
dan bukan terlihat dari ucapannya.
Pelaksanaan
sila dalam agama Budha merupakan suatu kebijakan moral, etika atau tata tertib
dalam menjalani kehidupan kita sebagai manusia sehingga mampu bertingkah laku
secara baik dan benar bagi diri sendiri, orang lain, bahkan seluruh alam
semesta beserta isinya. Kebajikan moral dapat dianggap sebagai suatu dasar yang
membentuk semua hal-hal yang positif dalam kehidupan saat ini. Sang Buddha
pernah bersabda: “Kebijakan moral adalah dasar, sebagai pendahulu dan pembentuk
dari semua yang indah. Oleh karena itu, hendaklah orang menyempurnakan
kebijakan moral (sila)”. (Theragatha,612).
B. Macam-Macam
Sila
a. Panca
Sila
Terdiri
dari lima sila yang dilaksanakan oleh umat Buddha biasa dalam kehidupan
sehari-hari, yaitu tidak akan menganiaya atau membunuh; tidak akan mengambil
dan memiliki sesuatu yang tidak atas pemberian atau bukan untuknya; akan hidup
bersusila; tidak berlaku serong dan zina, tidak berdusta, menipu atau
memfitnah; dan menjauhi percakapan-percakapan yang tidak berguna atau harus
berkata benar.
b. Hasta
Sila atau delapan janji
Adalah
janji para umat awam untuk menjauhi delapan perbuatan yang terlarang, yaitu
1. Tidak
akan menganiaya atau membunuh
2. Tidak
akan mengambil atau memiliki sesuatu yang tidak atas pemberian atau bukan
haknya.
3. Tidak
akan berzina.
4. Tidak
berdusta, menipu maupun memfitnah dan menjauhi percakapan-percakapan yang tidak
berguna.
5. Menjauhi
segala macam minuman keras maupun makanan yang dapat merusakkan kesadaran dan
memabokkan.
6. Tidak
akan makan setelah jam 12
7. Tidak
menari, menyanyi, bermain music, melihat pertunjukan, tidak memakai
wangi-wangian, perhiasan dan sebagainya
8. Tidak
akan memakai tempat duduk dan tempat tidur yang tinggi dan mewah.
c. Majjhima
Sila atau Dasa Sila
Yaitu
sepuluh janji atau janji bagi para Bhikhu dan Samanera, adalah janji untuk
tidak melaksanakan perbuatan yang terdapat dalam Atthanga sila sampai nomor
enam, sedang nomor tujuh dipecah menjadi dua sehingga urutannya adalah: (7)
tidak akan menari, menyanyi, bermain music dan melihat pertunjukan hanya untuk
memuaskan indra saja; (8) tidak akan memakai wangi-wangian, bunga-bungaan,
minyak rambut dan perhiasan bersolek lainnya; (9) tidak akan memakai tempat duduk
dan tempat tidur yang tinggi dan mewah; dan (10) tidak akan menerima emas dan
perak untuk dimiliki.
d. Patimokha
Sila
Yaitu
sila utama dan merupakan sila yang paling tinggi yang dilakukan oleh para
Bhikkhu atau Bhikkhuni yang telah menerima penahbisan (Upasampada), berupa 227 peraturan dalam kehidupan sehari-hari.
Sila
terdiri dari lima aturan pokok yaitu:
1.
Dengan mengetahui betapa dalamnya hidup kita saling terkait, saya berusaha
berlatih melindungi kehidupan.
2.
Dengan mengetahui betapa dalamnya hidup kita saling terkait, saya berusaha
berlatih hanya mengambil apa yang diberikan pada saya tanpa pamrih.
3.
Dengan mengetahui betapa dalamnya hidup kita saling terkait, saya berusaha
berlatih menjaga hubungan dan menghindari perilaku seksual yang keliru.
4.
Dengan mengetahui betapa dalamnya hidup kita saling terkait, saya berusaha
berlatih berbicara baik dan jujur.
5.
Dengan mengetahui betapa dalamnya hidup kita saling terkait, saya berusaha
berlatih melindungi kejernihan pikiran dengan menghindari hal-hal yang membuat
kecanduan.
C. Catur
Paramitha dan Catur Mara
Catur
paramita adalah 4 (empat) sifat-sifat luhur atau sifat ketuhanan yang kita
miliki, sedangkan catur mara adalah 4 (empat) sifat-sifat jahat yang harus kita
musnahkan. Jadi, di dalam diri kita terdapat 2 (dua) sifat yang selalu
bertentangan yaitu catur paramita dan catur mara. Catur paramita apabila
dilaksanakan dengan baik akan mengantarkan kita untuk memasuki kehidupan yang
penuh dengan kebahagiaan, aman dan sejahtera. Sebaliknya, catur mara apabila
kita lakukan akan menjerumuskan kita ke dalam kehidupan yang sengsara dan hina.
Di
dalam diri setiap manusia terdapat sifat-sifat ketuhanan yang disebut Paramita
yaitu di dalam batinnya merupakan sumber dari segala perbuatan baik (Kusalakamma)
yang tercetus pada pikiran, ucapan dan badan. Karena itu kita harus dapat
mengembangkan paramita itu, demi kebahagiaan, ketenangan dan kegembiraan bagi
hidup kita. Catur paramita artinya empat sifat ketuhanan. Sifat ketuhanan itu
terdiri dari:
Metta :
ialah cinta kasih universil yang menjadi akar dari perbuatan baik (Kusala-kamma).
Bila ini berkembang Dosa akan tertekan.
Karuna : ialah kasih sayang universil karena
melihat suatu kesengsaraan, yang menjadi akar dari perbuatan baik (Kusalakamma).
Bila ini berkembang Lobha akan tertekan.
Mudhita : ialah perasaan bahagia (Simpati)
universal karena melihat makhluk lain bergembira, yang menjadi akar dari
perbuatan baik (Kusalakamma). Bila ini berkembang Issa akan tertekan.
Upekha : ialah keseimbangan bathin universal
sebagai hasil dari melaksanakan metta, karuna, mudita dan upekha, juga merupakan
akar dari perbuatan baik (Kusalakamma). Bila ini telah berkembang Moha akan
tertekan, bahkan akan lenyap. Inilah
yang disebut catur paramita.
Disamping
adanya sifat-sifat ketuhanan, terdapat pula sifat-sifat setan/jahat (Mara)
dalam batin manusia dan ini merupakan sumber dari segala perbuatan buruk (Akusalakamma)
yang tercetus pada pikiran, ucapan dan badan. Karena itu kita harus dapat
melenyapkannya agar hidup kita tidak terus-menerus didalam kesengsaraan dan
penderitaan yang tiada henti-hentinya. Catur mara artinya empat sifat
setan/jahat. Sifat setan/jahat ini yang terdiri dari:
Dosa : ialah kebencian yang menjadi
akar dari perbuatan jahat (Akusalakamma) dan akan lenyap bila dikembangkannya Metta.
Dosa ini sacara ethica (ajaran tentang keluhuran budi dan peraturan kesopanan)
berarti kebencian, tetapi secara psychologis (kejiwaan) berarti pukulan yang
berat dari pikiran terhadap objek yang bertentangan. Mengenai ini terdapat dua macam
nama yaitu:
1. Patigha:
jijik atau tidak senang.
2. Vyapada:
kemauan jahat.
Lobha : ialah serakah yang menjadi akar
dari perbuatan jahat (Akusalakamma) dan akan lenyap bila dikembangkannya Karuna.
Lobha ini secara ethica berarti keserakahan/ketamakan, tetapi secara
psychologis berarti terikat pikiran pada objek-objek. Inilah yang kadang-kadang
disebut tanha yaitu keinginan yang tiada hentinya, kadang juga disebut Abhijjha
(mempunyai napsu serakah dan kadang-kadang disebut juga Kama (napsu birahi
serta raga (hawa napsu).
Issa :
ialah irihati yaitu perasaan tidak senang melihat makhluk lain berbahagia, yang
menjadi akar dari perbuatan jahat (Akusalakamma) dan akan lenyap bila
dikembangkannya Mudita.
Moha : ialah kegelisahan bathin sebagai
akibat dari perbuatan dosa, lobha dan issa, akan lenyap bila dikembangkannya Upekkha.
Moha berarti kebodohan dan kurangnya pengertian. Selain daripada itu moha juga
disebut Avijja (ketidaktahuan) atau Annana (tidak berpengetahuan) atau Adassana
(tidak melihat). Inilah yang disebut
catur mara.
Perbuatan
jahat akan mengarahkan kita ke tiga jalan kehidupan, yaitu:
1. Neraka
atau Niraya: yang sebagian besar disebabkan oleh seseorang yang banyak dosanya
dan ia akan hidup di alam ini setelah kematiannya dari alam manusia. Sebagaimana
disebutkan dalam bahasa Pali, yang artinya: “Semua makhluk sebagian besar
terlahir di alam neraka (Niraya) disebabkan dengan kekuatan dosa”.
2. Binatang
atau Tiracchana: yang sebagian besar disebabkan oleh seseorang yang banyak
mohanya dan ia akan hidup di alam ini setelah kematiannya dari alam manusia.
Sebagaimana disebutkan dalam bahasa Pali, yang artinya: “Semua makhluk sebagian
besar terlahir di alam binatang (tiracchana) disebabkan dengan kekuatan moha”.
3. Setan
atau Peta: yang sebagian besar disebabkan oleh seseorang yang banyak lobhanya
dan ia akan hidup di alam ini setelah kematiannya dari alam manusia. Sebagaimana
disebutkan dalam bahasa Pali yang artinya: “Semua makhluk sebagian besar
terlahir di alam setan (peta) dan raksasa (asura) disebabkan dengan kekuatan
lobha”.
Sedangkan,
perbuatan baik akan mengarahkan kita ke tiga jalan kehidupan, yaitu:
1. Alam
Dewa: yang sebagian besar disebabkan oleh seseorang yang banyak melakukan maha
kusala citta serta hiri dan ottappa, seperti berdana, mendengarkan dhamma,
belajar dhamma, mengajarkan dhamma, menterjemahkan buku-buku dhamma untuk
disebarluaskan, membangun vihara, membangun rumah sakit, membangun sekolah dan
lain sebagainya.
2. Alam
Brahma: yang disebabkan oleh seseorang yang banyak sekali melaksanakan samatha
bhavana sehingga diperolehnya Jhana. Jhana berarti kesadaran/pikiran yang
melekat kuat dalam objek kammatthana (meditasi), yaitu kesadaran/pikiran
terkonsentrasi pada objek dengan kekuatan appana-samadhi (konsentrasi yang
pandai, yaitu kesadaran/pikiran terpusat pada objek dengan kuat).
3. Nibbana/Nirvana:
yang sebagian besar disebabkan oleh seseorang melaksanakan vipassana bhavana
sehingga menjadi arahat. Arahat berarti orang suci tingkat keempat yang telah
terbebas dari kelahiran dan kematian atau telah bersatu dengan sang hyang adi
Buddha.
D. Hubungan
Sila Dengan Catur Paramitha
Sila
dapat dilaksanakan dengan baik, bilamana pikiran penuh dengan catur paramita.
Menurut ajaran agama budha, untuk memperoleh kesempurnaan, ada dua macam sifat
luhur yang harus dikembangkan berbarengan, yaitu:
1. Metta
dan Karuna (cinta kasih dan kasih sayang)
2. Panna
(kebijaksanaan)
Di
dalam metta dan karuna adalah termasuk cinta kasih, suka bermurah hati, ramah
tamah, toleransi dan sifat-sifat luhur lainnya dari segi emosi (perasaan) atau
sifat-sifat yang timbul dari “hati”, sedangkan panna berhubungan dengan intelek
(kecerdasan) atau sifat-sifat yang timbul dari pemikiran.
Kalau
orang hanya mengembangkan diri dari segi emosinya saja dengan mengabaikan segi
inteleknya, maka orang ini kelak akan menjadi “orang edan/gila yang baik hati”
sebaliknya, kalau orang hanya mengembangkan dari segi inteleknya saja dengan
mengabaikan segi emosinya, maka orang ini akan menajdi “orang yang berhati
batu” dan tidak mempunyai perasaan sedikitpun terhadap orang lain. Oleh karena
itu, untuk menjadi sempurna, orang harus mengembangkan sifat-sifat tersebut
diatas tadi secara berbarengan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar