tanpa judul

Vishnu

Kamis, 25 Juni 2015

Upacara Api Homa Pemberkahan Kurukulle Bhagavati

Keterangan: Video Upacara Api Homa Pemberkahan Kurukulle Bhagavati

Upacara Api Homa Pemberkahan Kurukulle Bhagavati
Upacara Api Homa Pemberkahan Kurukulle Bhagawati adalah Amithaba Buddha, yang merupakan cinta kasih bagi Tibet dan India. Kadang disebut juga Bunda penerang (Zuo-ming Fo-mu). makna dari penerang adalah berfungsi sebagai metode Sadhana dengan Ragavidyaraja sama-sama sebagai Mahavasikaranatha.
Kurukulla Bhagavati memegang sebuah busur, panah, tali dan kaitan. Kurukulla Bhagavati tidak hanya menganugerahkan cinta kasih bagi pria dan wanita, namun beliau juga mnganugerahkan keharmonisan dalam keluarga, pekerjaan dan masyarakat. Bahkan mampu memikat semua insan untuk bersarana kepadaNya. Kurukulla Bhagavita mempunyai wibawa agung, mempunyai power yang sangat besar, merupakan Adinata penuh wibawa, juga mampu menaklukkan kejahatan.
Upacara Pemberkatan Pernikahan
Keterangan: Video Pemberkatan Pernikahan

Upacara Pawiwahan Pernikahan Umat Hindu Di Surabaya

Keterangan: Upacara Pewawihan Pernikahan

Upacara Pawiwahan di Surabaya
Dalam agama Hindu di Bali, istilah perkawinan biasa disebut pawiwahan. Pawiwahan berarti ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal yang diakui oleh hukum negara, agama dan adat.
Tujuan Wiwahan Menurut Agama
Hindu pada dasarnya manusia selain sebagai makhluk individu juga sebagai makhluk sosial, sehingga mereka harus hidup bersama-sama untuk mencapai tujuan tertentu. Tuhan telah menciptakan manusiadengan berlainan jenis kelamin, yaitu pria dan wanita. Telah menjadi kodratnya sebagai makhluk social bahwa setiap pria dan wanita mempunyai naluri untuk saling mencintai dan saling membutuhkan dalam segala bidang. Sebagai tanda seseorang menginjak masa ini diawali dengan proses perkawinan yang merupakan peristiwa suci dan kewajiban bagi umat Hindu.
            Dalam video ini juga menampilkan upacaraYajna potong gigi, atau dalam komunitas hindu bali disebut metatah, mepandes atau mesangih. Dalam upacara ini baik laki-laki mau pun perempuan, enam gigi mereka diratakan dengan alat kikir, yaitu dua gigi taring dan empat gigi tengah. Keenam gigi itu melambangkan Sad Ripu atau enam sifat buruk yang ada dalam diri setiap manusia, yakni nafsu (kama), rakus (loba), marah (kroda), mabuk (mada), bingung (moha) dan dengki (matsarya).
            Upacara Mapandes merupakan upacara Sarira Samskara yakni untuk menyucikan diri pribadi seseorang, guna dapat lebih mendekatkan diri kepada Sang HyangWidhi, para dewa dan leluhur.
Upacara Perkawinan
Keterangan: Video Upacara Perkawinan

Upacara perkawinan Karyana dan Reni
            Upacara yang didokumentasikan dalam video ini merupakan upacara perkawinan (wiwahasamkara) yang dilakukan dirumah pengantin pria. Dimana pengantin pria memikul tegen-tegenan dan pengantin wanita menjunjung suhun-suhunan sambil membawa sapulidi tiga biji, keduanya berjalan mengelilingi sanggah surya (apisuci/agnihorta) ke arah purwadaksina (arahjarum jam). Kedua pengantin berjalan tujuh langkah bersama untuk menandai awal perjalanan mereka melalui kehidupan bersama. Setiap langkah merupakan sumpah perkawinan.
            Kemudian diteruskan dengan berkeliling sebanyak 7 kali. Pada setiap putaran, kedua mempelai menendang serabut kelapa yang di dalamnya berisi telur dan diikat dengan benang tridhatu. Sebagai tekad bahwa kedua mempelai secara bersama-sama siap menyingkirkan segala cobaan yang dihadapi dalam kehidupan rumah tangganya kelak.
Upacara Ngaben
Keterangan: Video Upacara Ngaben di Bali

Ngaben
Ngaben merupakan salah satu upacara besar di Bali. Dalam Hindu, diyakini bahwa Dewa Brahma selain sebagai dewa pencipta juga adalah dewa api. Jadi ngaben adalah  proses penyucian roh dengan menggunakan sarana api, sehingga bisa kembali ke sang pencipta yaitu Brahma. Fase pertama sebagai kewajiban suci umat Hindu terhadap leluhurnya, dengan melakukan prosesi pembakaran jenazah. Jenazah diletakan selayaknya sedang tidur dan keluarga yang ditinggalkan akan senantiasa beranggapan demikian. Upacara ngaben biasanya dilakukan dengan semarak, tidak ada isak tangis, karena di Bali ada suatu keyakinan bahwa kita tidak boleh menangisi orang yang sudah meninggal, karena akan menghambat perjalanan sang arwah menuju tempatnya.

            Dalam video ini memperlihatkan bagaimana proses pembakaran jenazah dengan menggunakan bade dan lembu atau wadah berbentuk vihara atau Padma, sebagai symbol rumah Tuhan. Setelah mayat diletakan di bade, secara beramai-ramai ketempat upacara ngaben, diiringi dengan gamelan, kidung suci dan diikuti seluruh keluarga dan masyarakat. Di depan bade terdapat kain putih yang panjang yang bermakna sebagai pembuka jalan sang arwah menuju tempat asalnya. Prosesi ngaben juga dilakukan dengan berbagai proses upacara dan sarana upakara berupa sajen dan kelengkapannya, sebagai symbol-simbol seperti halnya ritual lain yang sering digunakan umat Hindu Bali.
Upacara Nyambutin Tiga Bulanan Ngurah

Keterengan: Video Upacara Nyambut Tiga Bulanan

Upacara Tiga Bulanan
            Upacara tiga bulanan atau yang disebut upacara nelu bulanin dilaksanakan pada saat bayi berusia 105 hari atau tiga bulan menurut perhitungan kalender Bali, yaitu 3 x 35 hari = 105 hari. Tujuannya untuk berterima kasih kepada nyama bajang (kelompok kekuatan Ida Sang Hyang Widhi) yang bertugas membantukan dapat atau ari-ari, lamas, getih dan yehnyom dalam menjaga si bayi sewaktu masih dalam kandungan, menguatkan kedudukan atman yang “numitis” di tubuh si bayi, menyucikan si bayi dam meresmikan nama yang diberikan orang tua kepada si bayi.

            Tata cara yang dilakukan saat upacara yaitu seorang Pandita/Pinandita memohon tirtha panglukatan, kemudian Pandita/Pinandita melakukan pemujaan, memerciki tirtha pada sajen dan pada si bayi, doa dan persembahyangan untuk si bayi yang dilakukan oleh ibu bapaknya, kemudian si bayi diberikan tirtha pengening, dan terakhir si bayi diberi natab sajen ayaban, yang berarti memohon keselamatan.

Kamis, 04 Juni 2015

Sejarah Pura Aditya Jaya



Keterangan: Foto kunjungan ke Pura Aditya Jaya Rawamangun bersama Dosen Pengampu Syaiful Azmi
       

Pura Aditya Jaya adalah sebuah pura Hindu yang lokasinya berada di daerah Rawamangun, Jakarta Timur. Pura ini memiliki bangunan dengan dinding dan ornament yang  bergaya khas Bali dan terdapat banyak pohon-pohon besar yang rindang di sekeliling kompleks.
Sejarah didirikannya Pura Aditya Jaya Rawamangun ini, tidak lepas dari sejarah perjuangan umat Hindu di DKI Jakarta oleh ‘Suka Duka Hindu Bali (SDHB)’. Kemudian berganti nama menjadi ‘Suka Duka Hindu Dharma (SDHD)’ atas saran IB Mastra, Dirjen Bimas Hindu dan Budha. Menyusul cita-cita pendirian Pura yang dipertajam dengan mendirikan Yayasan ‘Pitha Maha’ dibawah pimpinan Ida Bagus Manuaba, anggota Dewan Konstituante, I Gusti Subania, Menteri Koordinator, I Nyoman Wiratha, anggota DPRD DKI Jakarta.
Ketika itu, presiden pertama RI, Ir Soekarno, yang akrab disebut Bung Karno, menyambut baik gagasan membangun Pura, bagi umat Hindu di Jakarta. Oleh karenanya Bung Karno, pada tahun 1960-an menawarkan tanah di Lapangan Banteng kepada umat Hindu untuk beribadah. Tetapi entah apa pasalnya, rencana pembangunan Pura Hindu di lapangan Banteng tersebut batal. Kemudian berlanjut pada tahun 1962-an kembali ditawarkan lokasi baru di ancol. Namun umat Hindu keberatan, sebab lokasi tersebut pada masa itu berlumpur, berbau anyir. Berbeda dengan keadaan ancol masa kini dengan ancol masa lalu. Terutama setelah ancol disulap oleh pemilik modal dijadikan lahan komersil taman hiburan.
Saat umat Hindu di Jakarta berharap cemas menunggu batas waktu kapan secepatnya memperoleh lokasi yang tepat untuk membangun ‘Pura’ di Jakarta. Tanpa diketahui lebih dulu, Ir Sutami, Menteri Pekerjaan Umum, dijaman pemerintahan Bung Karno, menawarkan lokasi baru yang memungkinkan untuk membangun ‘Pura’. Pak Menteri dipandang sebagai sosok pejabat negara yang waktu itu dikenal sebagai orang dekat Bung Karno. Lokasi tersebut berada diwilayah Jakarta Timur. Tepatnya dijalan Rawamangun Muka No. 10, tak jauh dari lapangan Golf Rawamangun, Jakarta Timur.
Dibarengi ucapan rasa syukur kepada Tuhan, Yayasan ‘Pitha Maha’ dan seluruh umat Hindu di Jakarta, lokasi tersebut sangat tepat untuk pembangunan ‘Pura’ yang kini bediri megah dan indah. Dinamai ‘Pura Aditya Jaya’ Penggunaan lokasi tersebut dikuatkan oleh Ir. Sutami, yang menerbitkan surat No. 36/KPTS/1976 yang memberi izin untuk menggunakan tanah yang dikuasai Dept. PU cq Ditjen Bina Marga (yaitu tempat Pura Aditya Jaya sekarang, sebagai tempat persembahyangan bagi umat Hindu di Jakarta dan sekitarnya). Pemberian izin oleh Menteri PU didukung oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, yang bijaksana dan berwawasan luas didalam membangun kota Jakarta menjadi Kota Metropolitan.
Pura Aditya Jaya ini dibangun dalam tujuh tahapan. Pertama dimulai tahun 1972 dan tahap akhir dilakukan tahun 1997. Areal Pura Aditya boleh dibilang cukup luas. Disitu terdapat sejumlah bangunan dan ornament bergaya khas Bali. Suasana Pura juga mirip taman hijau yang terlindung dari sengatan panas matahari karena lebatnya pepohonan rindang disekeliling areal. Masyarakat pemeluk agama Hindu bersyukur kepada Tuhan, kepada Bung Karno dan beberapa pejabat teras lainnya karena harapan dibangunnya Pura di Jakarta telah terpenuhi. Terlebih Pura besar itu berada di Jakarta atau Ibukota Negara Indonesia. Pura Aditya Jaya tak hanya digunakan untuk melakukan ritual keagama umat Hindu. Melainkan juga masyarakat umum yang ingin menikmati keheningan dan kedamaian hati bisa masuk ke dalam sebuah candi ditengah hangar bingarnya kehidupan keras di Kota Metropolitan Jakarta yang dulu pernah dijuluki ‘Kampung terbesar didunia’.

Pada hari-hari biasa, umat Hindu maupun pengunjung umum lainnya diarahkan melalui pintu masuk dari jalan Daksinapati Raya 10, tak jauh dari Lapangan Golf Rawamangun Muka, Jakarta Timur. Tetapi pada hari-hari tertentu semisal pada upacara keagamaan Hari Raya ‘Galungan dan Kuningan’, Hari Purnama Tilem’, ‘Waisak’, ‘Nyepi’ dll, pengunjung dipersilahkan masuk melalui pintu gerbang yang menganga lebar. Dari gerbang itulah sejumlah besar pengunjung yang berlipat ganda, ‘tumplek-blek’ memenuhi seluruh areal Pura.
Pintu gerbang tersebut memang hanya dibuka pada hari-hari besar upacara keagamaan. Ditambah dua pintu lainnya yang selalu dibuka pada hari-hari biasa. Sehingga pengunjung, leluasa masuk tanpa hambatan. Dan lagi Pintu gerbang utama, letaknya strategis berhadapan langsung dengan By Pass atau jalan Tol Cawang-Tanjung Priok’, Sehingga memudahkan pengunjung berkendaraan roda empat, langsung masuk lapangan parkir yang menganga lebar.
Pada upacara besar keagamaan yang berlangsung enam kali dalam setahun, menjadi ajang umat Hindu bersembahyang secara berjamaah. Bahkan sejumlah pengunjung umum seperti wisatawan lokal maupun internasional tertarik untuk menikmati suasana yang sungguh memikat di samping kenyamanan areal ‘Pura Aditya’ yang sudah banyak dikenal orang asing.
Ketika memasuki wilayah pura dari arah timur, ada sejumlah gazebo beratap rumbia yang keempat tiangnya dibebat dengan kain poleng. Di wilayah luar Pura Aditya Jaya yang disebut Nista Mandala atau Jaba Sisi ini terdapat Rumah Tunggu, toko buku yang menjual buku-buku tentang ajaran agama Hindu, kantin yang cukup menyenangkan, Bale Gede dan dapur.
Salah satu arca yang menarik perhatian di dalam Pura Aditya Jaya adalah arca Dewi Saraswati, istri Dewa Brahma. Arca dewi ilmu pengetahuan dan seni ini letaknya berada jauh di dalam wilayah utama mandala, persis di belakang candi lebih kecil yang terletak di sayap sebelah kanan pura.
Pura pertama yang dibangun dan didirikan di Jakarta ini, lokasinya sangat strategis berada disebelah timur lintasan tol Cawang-Tanjung Priok atau sering disebut dengan Jalan Layang A. Yani. Lokasi pura memang berada dipersimpangan Jl. A. Yani dengan Jl. Rawamangun. Pura yang hampir setiap hari dikunjungi ini, memiliki sejarah yang sangat panjang mulai dari sebuah sanggar sebagai tanda yang hingga sekarang ini berdiri sangat megah dengan halaman yang sangat luas. Pada hari Sabtu dan Minggu, pengunjung pura sangat ramai, lebih-lebih saat diselenggarakannya Pendidikan Agama bagi anak-anak yang beragama Hindu mulai dari SD-SMP dan SMA termasuk juga mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi yang ingin memperoleh nilai agama untuk memenuhi nilai SKS-nya. Bahkan sekarang sudah berdiri Sekolah Tinggi Agama Hindu (STAH).
keterangan: Foto menjalin persahabatan dengan umat hindu di Pura Aditya Jaya Rawamangun